Thursday, June 21, 2007

Kehidupan: Manusia Perahu Bengawan Solo

KOMPAS - Kamis, 21 Juni 2007

Nina Susilo

Umumnya penduduk pinggiran Bengawan Solo mencari ikan sekadarnya. Dalam sehari, paling dalam hitungan jam. Tapi, penduduk Desa Kabalan, Kecamatan Kanor, Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur, bisa berhari-hari di sungai.
Para nelayan hidup dan tinggal di atas perahu sehingga populer disebut manusia perahu.
Hari Minggu (17/6) siang lalu, Basri menanak nasi liwet di atas anglo atau tungku di atas perahu. Tiga ekor ikan jendil dipanggang di atas bara api anglo. Itulah menu makan siang Basri.
Saat ditemui Tim Ekspedisi Bengawan Solo Kompas 2007, Basri tengah merapatkan perahunya di tepi Bengawan Solo, tepatnya di Dusun Pandanwangi, Kecamatan Suko, Kabupaten Tuban. Perahunya ditambatkan di tepian penuh lumpur.
Siang itu, sejumlah perahu jukung tengah merapat di tepi Bengawan Solo, terutama di sekitar Kabupaten Bojonegoro yang berbatasan dengan Kabupaten Tuban, Jawa Timur. Perahu-perahu itu terlihat mencolok dan berbeda saat Tim Ekspedisi Bengawan Solo Kompas 2007 menyusuri kawasan tersebut.
Di bagian atas perahu terlihat rumah kecil terbuat dari anyaman bambu (gedek) beratap sirap. Ukuran rumah yang bisa dibongkar pasang itu kecil sekali, 1,5 meter x 0,9 meter. Bagi Basri (47), Kholik (50), dan Imam (24), misalnya, di tempat kecil itu justru ada denyut kehidupan sepanjang alur Bengawan Solo.
Di sepanjang Bengawan Solo bagian hilir, terutama yang masuk wilayah Jawa Timur, komunitas perahu-perahu lancip itu dikenal sebagai "manusia perahu". Manusia perahu ini dipastikan berasal dari satu desa, yaitu Kabalan, Kecamatan Kanor, Kabupaten Bojonegoro.
Di aliran sungai, yang membelah Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur, itu boleh jadi hanya orang Kabalan yang punya tradisi mencari ikan di sungai itu dalam waktu yang lama. Warga dari daerah lain mencari ikan dalam hitungan jam.
"Manusia perahu" di Bengawan Solo menghabiskan hari-harinya di atas perahu kecil itu. Dengan menggunakan jala, jaring, atau setrum, rata-rata 10-15 hari mereka menyusuri Bengawan Solo, baik ke arah hulu maupun hilir, mengejar daerah yang diduga banyak ikan wader, jendil, bader, dan bengkik.
Dengan mesin berdaya 15 PK yang harganya Rp 2,5 juta-Rp 3 juta itu mereka menantang arus sungai ke arah hulu hingga ke Cepu, Kabupaten Blora, Jawa Tengah, atau sejauh sekitar 100 kilometer. Ke bagian hilir mereka mencari ikan di sekitar Tuban dan Lamongan.
Dalam setiap perahu berukuran 7 meter x 0,9 meter itu, umumnya diawaki dua-tiga nelayan. Untuk hidup di perahu kecil yang harganya rata-rata Rp 2,5 juta itu selama belasan hari, mereka membekali diri dengan berbagai peralatan. Di perahu itu ada perlengkapan memasak, termasuk anglo kecil berbahan bakar kayu, cobek, dan panci.
Walau mudah menjumpai tempat untuk memasak di bantaran sungai, tetapi mereka lebih memilih memasak di atas perahu. "Mandek di mana, nempur teng mriku (berhenti di mana, beli beras di sana)," ujar Kholik, salah satu manusia perahu asal Dusun Kendal.
Walaupun di sepanjang tepian Bengawan Solo juga amat banyak ditemukan lokasi untuk istirahat kala malam hari, tetapi mereka lebih suka bermalam di atas perahu kecil mereka. Pada saat istirahat, mereka menepikan perahu di kampung-kampung yang ada di tepi sungai, menambatkan perahu di bawah pepohonan rindang.
Manusia perahu asal Kabalan itu juga tidak sepanjang tahun beraktivitas di perahunya. Hanya sedikit yang mencari ikan terus-menerus. Selebihnya amat bergantung pada musim. Pada umumnya, manusia perahu banyak bermunculan antara Agustus hingga September. Masa-masa itu merupakan akhir musim kemarau. Dari tepian Desa Kabalan, perahu-perahu kecil itu bertolak ke arah hulu seakan menantang arus Bengawan Solo.
Mencari ikan berhari-hari di sungai itu dilakukan warga Kabalan seusai menanam palawija di bantaran dan tebing sungai. Saat kemarau, mereka mencangkuli dan mengolah lahan-lahan di tebing sungai. Mereka menanam jagung, kacang, sayuran, dan lain-lain. Mereka memanfaatkan areal yang menyembul karena air sungai surut pada musim kemarau.
Menurut Kholik, ikan-ikan hasil tangkapan mereka dijual di sepanjang perjalanan. Di mana ada pusat keramaian, di situlah mereka menjual ikan-ikan tersebut. Jika ikan yang ditangkap banyak, Kholik membawa pulang uang bersih sebesar Rp 200.000, tetapi ada juga yang mendapatkan penghasilan lebih dari angka tersebut.
Padahal, biaya operasional untuk mencari ikan tidak sedikit. Contohnya, untuk mencari ikan di sekitar Bojonegoro hingga Cepu, Kholik mengaku memerlukan bahan bakar sedikitnya 40 liter untuk bolak-balik. Artinya, kalau lagi apes, dia cuma gigit jari. Karena itu, suami Siti Fatimah dan ayah empat anak ini harus tahu betul daerah-daerah yang banyak ikannya sehingga pulang ke rumah tidak dengan raut kusut.
Itu artinya antara Agustus dan September, para nelayan Kabalan harus bisa memanfaatkan waktu. Selepas bulan-bulan itu, ikan yang diperoleh tidak banyak, bahkan sangat riskan untuk melakoni manusia perahu. Memasuki Oktober, justru ancaman bagi nelayan Kabalan. Banjir mulai datang. Tidak mungkin bagi perahu kecil itu menembus arus deras banjir yang datang dari hulu. (BUR/SSD)

0 comments: