Thursday, June 21, 2007

Siksaan Batin Keluarga Caryati

REPUBLIKA - Kamis, 21 Juni 2007

Derita yang dialami duta devisa kita tampaknya tak pernah surut. Tidak terhitung lagi, berapa jumlah tenaga kerja wanita (TKW) yang meninggal, cacat hingga mengalami penyiksaan. Daftar kekejaman para majikan di negeri seberang itu tampaknya kian panjang setelah terkuak kasus penganiayaan yang dialami Caryati (media massa menyebut Ceriyati) yang nekat lari dari rumah majikannya dengan cara turun dari lantai 15 Apartemen Tamarind Sentul, Kuala Lumpur, Malaysia, Ahad lalu.
Aksi nekat wanita berusia 39 tahun asal Desa Kedungbokor, Kec Larangan, Brebes, Jateng, itu tak hanya mengagetkan publik di Malaysia, tapi juga di Indonesia. Ibu beranak dua itu keluar dari rumah majikannya, Michael Tsen dan Ivone Siew, dengan kain yang dirangkai menjadi tali. Sedianya, dengan kain itu dia hendak turun untuk melarikan diri. Namun, kenekatan itu berhenti di lantai 12 setelah Caryati merasa ketakutan berada di ketinggian. Dia kemudian diambil oleh regu penyelamat.
Di Brebes, aksi Caryati juga tak hanya mencengangkan tapi juga menimbulkan rasa iba. Warga Kedungbokor yang menyaksikan tayangan televisi umumnya merasa kasihan setelah melihat wajah tetangganya yang babak belur disiksa majikannya. ''Kalau di sini yang ada kejadian seperti itu, barangkali orangnya sudah dibakar hidup-hidup,'' ungkap Kasno (43 tahun) tetangga Ridwan (suami Caryati) di RT 02 RW 07 Kedungbokor yang gemas melihat kekejaman kedua majikan tersebut.
Ridwan sendiri tak kalah shock menyaksikan penderitaan yang dialami istrinya selama merantau 5,5 bulan di Malaysia. ''Saya kira dia senang bekerja di sana, tidak tahunya dia jadi bulan-bulanan penyiksaan majikan. Kalau tahu begini jadinya, saya menyesal dulu mengizinkan Caryati berangkat ke Malaysia,'' tutur Ridwan (39 tahun).
Lelaki yang sehari-hari bekerja sebagai buruh tani itu mengakui sejak istrinya jadi berita di televisi dan koran, dua buah hatinya, yakni Ade Nuriman (15 tahun) dan Anggun Wiyana Rizki (5 tahun), selalu menangis. Mereka menanyakan kapan ibunya pulang. Bahkan, belakangan ini Anggun selalu terjaga dari tidurnya dan memanggil nama ibunya. ''Saya kasihan melihat anak-anak, jadi ikut shock,'' ungkap Ridwan. Anggun pun tidak bisa berkata panjang lebar saat diminta komentar soal nasib naas yang menimpa ibunya. Dia hanya berkata pendek ''Mak, cepat pulang.'' Tak lama kemudian gadis kecil inipun menangis. Kata-kata itu seolah mewakili keriduan yang sangat mendalam terhadap ibunya.
Kepergian Caryati ke Malaysia diakui Ridwan sudah atas persetujuannya. Istrinya itu ingin bekerja di luar negeri demi mendapatkan upah yang besar. Ridwan yakin, jika gaji yang diterima istrinya itu besar, keadaan ekonomi rumah tangganya akan berubah pula. Selama ini, keluarga tersebut memang hidup dengan kondisi ekonomi yang bisa dibilang pas-pasan. Pemikiran inilah yang mendorong wanita yang hanya lulus SD itu hingga bersedia menjadi TKW.
Sebelumnya, suami istri tersebut memang hanya bekerja sebagai buruh tani dengan upah antara Rp 10 ribu hingga Rp 15 ribu per hari. ''Pendidikan istri saya cuma SD, jadi tidak mungkin dapat pekerjaan yang enak dan gaji yang besar. Kalau jadi TKW sangat mungkin karena ada beberapa tetangga di sini yang pendidikannya SD, sekarang malah kaya raya setelah kerja di Malaysia,'' cerita Ridwan. Kebetulan, para tetangga Ridwan yang berangkat menjadi TKW di luar negeri memang nasibnya tidak semalang Caryati.
Selain sedih dengan keadaan ekonomi rumah tangga, kata Ridwan, istrinya juga ingin membahagiakan kedua anaknya. Apalagi Ade yang mengalami cacat fisik sejak lahir, hanya mampu sekolah hingga kelas tiga SD.
Sementara anaknya yang bungsu sedang persiapan masuk TK. Agar anak-anaknya bisa sekolah, pasangan suami istri tersebut meyakini dirinya perlu mempersiapkan banyak dana. Kenyataan itu juga yang membangkitkan semangat Caryati untuk mengabdi sebagai pembantu rumah tangga (PRT) di Malaysia.
Setelah hatinya mantap, menurut Ridwan, Caryati kemudian menemui Dasuki yang dikenal sebagai calo tenaga kerja. Dasuki lalu mengontak perusahaan di Jakarta yang bersedia memberangkatkan Caryati ke Malaysia. Menurut Ridwan, pada Desember 2006 lalu istrinya berangkat melalui perusahaan pengerah jasa tenaga kerja, PT Sumber Kencana Sejahtera (SKS) yang berkedudukan di Jakarta. Waktu itu, Caryati dijanjikan menerima gaji sebesar Rp 1,6 juta per bulan dan sudah dikontrak selama dua tahun.
Rupanya, janji yang diberikan kepada Caryati itu hanya tinggal janji. Pada bulan pertama hingga bulan ketiga, Caryati tak pernah mengirim kabar ke rumahnya di Brebes. Selain tidak pernah mengirim surat, gaji bulanan juga tak pernah diterima keluarganya di kampung. Alhasil, selama tiga bulan Ridwan mengaku hanya dihantui berbagai pertanyaan. Setiap kali bayangan buruk muncul atas istrinya, ia langsung menepisnya. Tapi, 5,5 bulan kemudian bayangan buruk itu pun menjadi kenyataan, dan Ridwan tak bisa menepisnya.
Dalam tayangan di televisi, Caryati mengisahkan kekejaman yang dilakukan kedua majikannya. Mereka sering menyiksanya tanpa sebab. Tamparan, pukulan hingga cekikan menjadi santapan Caryati setiap hari. Sebagian wajah wanita ini tampak lebam-lebam bekas penyiksaan. Ia juga mengaku disuruh bekerja selama 20 jam dan hanya diberi makan sekali. Jika ia melakukan kesalahan, majikannya hanya memberi roti dan baru tiga hari kemudian diberi nasi.
''Saya meminta pemerintah menuntut majikan tersebut agar segera diadili dan dihukum seberat-beratnya. Tindakannya sudah berada di luar batas kemanusiaan,'' kata Ridwan penuh emosi. Selain itu, ia juga berharap pemerintah membantu kepulangan istrinya, sekaligus menjamin hak-hak yang belum diterima agar diperjuangkan.
''Kalau sudah pulang saya akan merawat dia, dan tidak perlu lagi bekerja di luar negeri. Saya tidak akan mengizinkan lagi, ini yang pertama dan terakhir,'' kata ridwan menegaskan. (wab )

0 comments: