KOMPAS - Rabu, 06 Juni 2007
MARIA HARTININGSIH
Only when the last tree is cut;
only when the last river is
polluted; only when the last
fish is caught; only then they
will realize that you cannot
eat money….
(Kearifan Indian)
Kalau manusia dalam proses menghancurkan dirinya sendiri, bagaimana mungkin akan menghapuskan kemiskinan dan kelaparan? Ketika alam dihancurkan, bagaimana mungkin komitmen menempatkan pembangunan manusia sebagai pusat perhatian dari peradaban pada abad baru ini?
Penghapusan kemiskinan hanya mungkin kalau orang memahami hakikat persoalan kemiskinan. Muara dari kemiskinan di berbagai tempat di dunia adalah perampokan sumber daya alam dan perusakan lingkungan oleh industri ekstraksi.
Laporan Human Rights Watch tahun 2001 memaparkan dengan sangat jelas keterkaitan antara kemiskinan, perusakan sumber daya alam, pelanggaran hak-hak asasi manusia dengan konflik antarkomunitas, antarmasyarakat dan aparat, serta antarnegara.
Ilmuwan Jepang, Yoshinori Murai, dalam artikelnya di majalah Aglo (2005) menulis, konflik di Kalimantan Barat (Kalbar) sebenarnya melampaui isu etnisitas. Inti masalahnya lebih terkait dengan politik dan dampak marjinalisasi akibat kebijakan pembangunan terhadap suku asli, mencakup kebijakan transmigrasi, konsesi pertambangan, dan hak pengusahaan hutan (HPH).
Kalbar memiliki tingkat kemiskinan tertinggi sampai saat ini. Lebih dari 35 persen penduduknya hidup di bawah garis kemiskinan—bandingkan dengan tingkat kemiskinan rata-rata nasional yang 17,75 persen tahun 2006 (data Badan Pusat Statistik). Sebagian besar adalah orang Dayak.
Hutan adalah napas hidup suku asli. Ironisnya, kawasan seperti Papua, Sumatera, dan Kalimantan didefinisikan sebagai "daerah terbelakang" oleh rezim Orde Baru sehingga dibutuhkan serangkaian kebijakan untuk "memajukannya".
Kebijakan itu bersifat sentralistik dan jangka pendek, seperti pemberian izin eksploitasi hutan kepada pengusaha. Para pembuat kebijakan tampaknya tak paham bahwa Indonesia adalah negeri kepulauan. Tidak ada pemetaan daya dukung lingkungan sebelum mengambil keputusan publik terkait dengan eksploitasi sumber daya alam, bahkan tampaknya karakteristik masyarakat pun tidak diketahui, apalagi dipertimbangkan.
Padahal, negeri ini terdiri dari ratusan pulau besar dan sedang, serta ribuan pulau-pulau kecil yang memiliki daya dukung lingkungan yang berbeda-beda. Karena panglimanya ekonomi, maka pertimbangan terbesarnya adalah devisa.
"Tahun 2006, sekitar 2,72 juta hektar hutan kita hilang," ujar Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Chalid Muhammad. Kalau tidak ada perubahan fundamental, hutan di Sumatera, Kalimantan, dan Papua akan hancur dalam 5, 10, dan 15 tahun ke depan.
Pada era otonomi daerah, kebijakan yang sama diambil pemerintah daerah atas nama pendapatan asli daerah. Tanah dan lahan menjadi barang dagangan.
"Tahun 2005 dikeluarkan 2.559 izin tambang, belum termasuk migas dan galian C, seperti marmer dan pasir batu, juga belum termasuk kebijakan di tingkat provinsi dan kabupaten," kata Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Maimunah.
Kalimantan Selatan, misalnya, mengeluarkan izin 326 pertambangan batu bara. Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur dalam tiga bulan mengeluarkan 1.261 izin eksploitasi. "Dari tahun 2000, izin yang dipakai berproduksi baru di bawah 13 persen," lanjut Maimunah.
Padahal, penelitian Jatam membalikkan asumsi umum tentang kesejahteraan di daerah-daerah eksploitasi pertambangan, minyak dan gas, di Nanggroe Aceh Darussalam, Riau, Kalimantan Timur, Sumatera Selatan, Babelan-Bekasi, Jawa Timur, Jawa Barat, dan Papua Barat. Di semua wilayah itu, 20-40 persen penduduknya hidup di bawah garis kemiskinan.
Kemiskinan ekologis
Kemiskinan akibat ketiadaan akses pada sumber daya alam di pedesaan, di daerah-daerah terpencil di pinggir hutan, maupun di pulau-pulau kecil yang tersebar di negeri kepulauan ini, merupakan kemiskinan ekologis, meminjam istilah Sunita Narain (2004) dari Centre for Science and Environment, New Delhi, India.
Jumlah mereka, menurut Dana Internasional bagi Pembangunan Pertanian, mencapai 75 persen, tetapi tak tersentuh, padahal situasinya sangat rentan. Tanah dan lingkungan yang rusak membuat risiko hidup jauh lebih tinggi ketika berhadapan dengan ketidakstabilan cuaca sebagai akibat pemanasan global.
Namun, kemiskinan bukan hanya tentang ketiadaan akses pada sumber daya alam, tetapi juga ketiadaan hak mengontrol dan mengelolanya. Itu sebabnya, keberlanjutan lingkungan dan sumber daya alam membutuhkan sistem hukum dan kelembagaan yang memadai. Penghapusan kemiskinan sebagian besar terkait dengan keberlanjutan, penggunaan, dan pengelolaan sumber daya alam demi kesejahteraan rakyat dan keadilan.
Meminjam pandangan Sunita, regenerasi lingkungan bukan soal menanam pohon, melainkan soal kedalaman demokrasi dalam masyarakat. Itu berarti, konsep tentang lingkungan juga membutuhkan revisi. Konsep konservasionis proteksionis tak bisa diterapkan. Seperti diingatkan Chalid, rakyat dan suku asli memiliki kearifannya dalam mengelola sumber daya hutan.
Saatnya mempertimbangkan GNP sebagai gross nature product, bukan gross national product, pada Hari Lingkungan Hidup Sedunia tanggal 5 Juni 2007, supaya kita tak pernah sampai pada pohon terakhir.
Wednesday, June 06, 2007
IPTEK: Ketika Pohon Terakhir Tumbang…
Posted by RaharjoSugengUtomo at 5:01 PM
Labels: HeadlineNews: Kompas
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment