KOMPAS - Rabu, 06 Juni 2007
Sonya Hellen Sinombor
Hingga kini, Ponimin (37), Kepala Dusun Tenggar, Desa Jeblogan, Wonogiri, Jawa Tengah, meyakini dayangan atau reksan (semacam tempat keramat) Tenggar yang merupakan mata air di daerah hulu Bengawan Solo adalah sumber kesejahteraan dan keselamatan warga setempat.
Demikian berartinya mata air tersebut, membuat warga menjaga tempat itu dengan tradisi yang kuat.
Mata air yang juga dikenal warga dengan sebutan kepala kali, tuk atau belik terdapat di samping bawah sebuah pohon beringin yang berusia puluhan tahun. Bekas sesajian masih terlihat di tengah-tengah pohon beringin tersebut. Setiap tahun pada bulan longkang atau selo (setelah bulan Syawal), di tempat ini diselenggarakan upacara bersih dukuh dalam bentuk menguras dan membersihkan sumber air (nawu) pada pagi hari. Sore harinya dilanjutkan dengan selamatan.
Selamatan untuk mengembalikan sumber air dalam kondisi bersih, sekaligus memohon keselamatan dan kesejahteraan bagi warga setempat. "Kepala kali ini merupakan sumber kesejahteraan rakyat. Karena itu, pohon beringin ini harus tetap dijaga sepanjang masa agar mata air di tempat ini terus mengalir," ujar Ponimin saat ditemui di dayangan Tenggar, Selasa (5/6).
Setelah mendatangi mata air di Dusun Tenggar, Tim Ekspedisi Bengawan Solo mendatangi mata air di Dusun Ngampih. Mata air ini mengalir dari samping bawah pohon beringin berusia puluhan tahun. Berbeda dengan mata air di Dusun Tenggar yang langsung menuju ke Kali Tenggar, air dari Dusun Ngampih mengalir melewati persawahan menuju Kali Gedong yang merupakan pemasok Bengawan Solo di daerah hulu. Seperti mata air di Dusun Tenggar, keberadaan mata air di Ngampih dijaga warga.
Dari penyusuran yang dilakukan Tim Ekspedisi Bengawan Solo, aliran Kali Tenggar dan Kali Ngampih awalnya tidak begitu besar airnya. Namun, setelah terjadi pertemuan dengan sejumlah kali kecil, aliran air kedua tersebut semakin ke arah hilir semakin besar. Air yang mengalir di Kali Tenggar dalam kondisi keruh karena erosi. Bebatuan besar terlihat di beberapa bagian Kali Tenggar dan Kali Ngampih.
Sepanjang aliran yang dilewati Kali Ngampih terdapat beberapa punden (semacam tempat keramat) yang berada tepat di pinggiran kali, seperti Punden Bero, Punden Gedong, Punden Dayu, dan Punden Suden. Masing-masing punden memiliki sejarah tersendiri. Punden Gedong, misalnya, terdapat di aliran kali yang berbentuk meander (berkelok-kelok) yang di sekitarnya terdapat pohon-pohon besar, seperti pohon bulu atau pohon jambon yang merupakan penyimpan air.
Di tengah pepohonan besar tersebut terdapat tinggalan arsitektural yang berbentuk piramid berteras (terrasen piramide) dari tradisi megalitik yang hingga kini disakralkan. Punden berorientasi ke Gunung Wungkal yang diyakini sebagai tempat persemayaman arwah nenek moyang yang dihormati warga setempat.
Besarnya manfaat mata air ini juga dituturkan sejumlah warga desa setempat. Menurut Misni (42), warga Dusun Ngampih, sebelum adanya pipanisasi dan pembuatan sumur, warga setempat memenuhi kebutuhan air bersih dengan mengambil air (ngangsu) di sumber-sumber air tersebut. Tugas mengambil air dilakukan perempuan dengan menggunakan wadah air dari tanah liat bakar berbentuk kelenting atau jun, yang ditempatkan pada pinggang kiri (ngindit).
Jika jarak antara rumah tinggal dan sumber air relatif dekat, air dialirkan menggunakan talang bambu. Sejak tahun 2000 tradisi itu mulai berkurang, seiring penggunaan pipa. Namun, pada musim kemarau tradisi pengambilan air dari mata air masih tetap dilakukan.
Bicara soal hulu Bengawan Solo sebenarnya bukan hal baru bagi warga Desa Jeblogan. Kepala Dusun Bakung, Darmo Widodo (59), mengakui, semenjak duduk di bangku SD, dalam pelajaran Ilmu Bumi sudah diajarkan tentang Bengawan Solo, termasuk upaya melestarikannya. Warga setempat begitu memahami arti mata air di daerah Bengawan Solo.
Karena itulah upaya menjaga dan melestarikan daerah hulu Bengawan Solo ini telah dilakukan warga setempat sejak bertahun-tahun yang lalu, dengan menanam pohon yang berusia panjang, berdiameter besar, dan bisa menyimpan air, seperti pohon beringin dan bulu.
"Dengan demikian, mata air yang berasal dari pepohonan ini akan juga memiliki keabadian. Pohon beringin adalah sebutan lain kalpataru, yang merupakan pohon kehidupan. Ini selaras dengan air yang merupakan sumber kehidupan. Inilah kearifan lokal," kata M Dwi Cahyono MHum, arkeolog dari Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang, yang ikut dalam ekspedisi ini.
Penyakralan mata air merupakan salah satu cara melestarikan arti penting sumber air bagi kehidupan dengan pendekatan kearifan lokal sesuai dengan keyakinan masyarakat bersangkutan. Esensinya adalah betapa penting melestarikan sumber air, baik bagi pemenuhan kebutuhan air bersih bagi rumah tangga atau pasokan bagi Bengawan Solo yang menjadi hajat hidup masyarakat luas di 11 kabupaten dari Jawa Tengah hingga Jawa Timur.
Wednesday, June 06, 2007
Kelestarian Alam: Kearifan Lokal Menjaga Mata Air
Posted by RaharjoSugengUtomo at 5:02 PM
Labels: HeadlineNews: Kompas
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment