Saturday, May 26, 2007

Amin untuk Pak Amien (2)

KOMPAS - Sabtu, 26 Mei 2007

Departemen Kelautan dan Perikanan mengutip pajak, retribusi, iuran, dan aneka pungutan dari kita. Sebagian dari uang kita itu disulap jadi "dana nonbudgeter" yang jumlahnya bagaikan, seperti kata lagu Bengawan Solo, "Air mengalir sampai jauh, akhirnya ke laut."

Banyak yang tidak tahu dana nonbudgeter (nonbudgetary funds) itu masuk jenis mata anggaran apa. Apakah ia perlu dikumpulkan, apakah cara pengumpulannya halal, dan apa manfaatnya untuk kita.
Hal yang pasti, pengelolaan dana pemerintahan di negeri ini sejak dulu lebih sukar ditebak daripada cuaca akhir-akhir ini. Selain dana nonbudgeter, ada pula dana abadi, uang yayasan, dana taktis, uang talangan, rekening Dephukham yang menampung transfer Tommy Soeharto, dan entah apa lagi.
Menurut kesaksian mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Rokhmin Dahuri, sebagian dana Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) disumbangkan bagi para politisi yang ikut Pemilu dan Pilpres 2004. Jika memakai logika orang bodoh, kita ikut membiayai kampanye mereka.
Duit kita dipakai untuk membentuk tim sukses, beli tiket pesawat, sewa tenda, bayar orkes dangdut, beli sembako, bahkan untuk biaya "serangan fajar".
Setelah terpilih, mereka minta kenaikan gaji, tunjangan, atau laptop. Mereka "take" melulu, enggak pernah "give".
Setelah kita menunggu setahun, mereka belum berbuat apa-apa. Setelah dua setengah tahun lewat, sudahkah kita kecewa?
Mungkin hanya segelintir dari kita yang kecewa, sebagian terbesar tenang-tenang saja. Anehnya, bahkan banyak menuding Pak Amien Rais seperti pahlawan kesiangan saja.
Kalau dianalogikan dengan dunia bisnis, para penerima dana nonbudgeter DKP itu seperti debitor-debitor yang ngemplang melulu. Jika diandaikan dengan pengusaha, mereka adalah pemilik bank yang ditutup karena tak mampu mengembalikan rekening atau tabungan kita.
Bukanlah cerita baru bahwa debitor-debitor nakal akhirnya selamat dengan kabur ke luar negeri. Bankir-bankir yang banknya jadi pasien BPPN malah ditolong pemerintah, dibebaskan dari tuntutan pidana, dipinjami utang luar negeri atas nama kita, dan enggak akan pernah kapok menipu kita.
Di dunia keluarga mereka ibarat sepasang pengantin yang nébéng di "Pondok Orangtua Indah". Tak usah kaget jika sang pengantin tega memalsukan sertifikat hak milik rumah dan akhirnya malah menyepak keluar orangtua dari rumah milik mereka.
Di dunia flora mereka seperti benalu, di dunia fauna mirip bunglon, di dunia legenda bagaikan drakula. Pohon benalu lebih rimbun ketimbang pohon mangga, warna merah bunglon lebih indah dari bunga dahlia, darah drakula lebih segar dibandingkan dengan darah manusia.
Di dunia permobilan mereka ibarat pengelola parkir. Anda wajib membayar Rp 2.000 per jam. Namun, kalau mobil atau barang di dalam kendaraan hilang, itu bukanlah tanggang jawab Anda—bukan mereka.
Para politisi yang kita pilih tahun 2004 jadi pemenang-pemenang yang berhak merampas semuanya. Kita, seperti biasa, kembali jadi pecundang yang menyandang predikat "pelengkap penderita" saja.
Jangan lupa, mereka tidaklah nongol secara tiba-tiba seperti penyakit kanker stadium dua. Mereka ibarat lemak yang jadi penyebab penyakit jantung kronis yang sejak 10-20 tahun lalu mulai menghambat kelancaran peredaran darah tubuh Anda.
Mereka tak ubahnya ingus yang keluar-masuk hidung anak balita kesayangan Anda. Dulu mereka bangga jadi loyalis Orde Baru.
Tiba-tiba setelah Pak Harto lengser ing keprabon tahun 1998 mereka berubah drastis menjadi reformis sejati. Eh, sekarang mereka kembali jadi loyalis Orde Baru lagi.
Jika diibaratkan album musik, mereka CD kompilasi yang memuat tembang kenangan para vokalis berusia 60 tahunan. Pepatah Inggris mengatakan, "Old habits are hard to break."
Kalimat andalannya, "Kalau terbukti, uangnya saya kembalikan. Atau. "Jangan khawatir, jika terbukti, uangnya saya ganti."
Tak heran pemberantasan korupsi saat ini masih memakai sistem tebang pilih. KPK, BPK, Kejaksaan Agung, atau Tim Tastipikor bekerja berdasarkan perintah majikan, bukan kata hati rakyat kebanyakan.
Jika salah, mereka selalu punya alasan. Beda dengan orang kecil yang cepat disalahkan meski belum ada bukti. Bahkan, opini publik pun jadi kambing hitam saat ada yang memprotes reshuffle. Menteri yang terbukti berkali-kali gagal menjalankan tugas malah masuk ke ring satu dan jalannya penyidikan korupsi dua menteri yang baru diganti lambat seperti keong.
Jadi, Pak Amien bukan pahlawan kesiangan. Lebih baik ada berani karena benar, bukan yang takut karena salah.
Mari ramai-ramai mendorong semua instansi segera menindaklanjuti pengakuan Pak Amien. Pengakuannya justru berguna bagi para politisi yang tahun 2009 mencalonkan diri kembali.
Di rubrik ini tahun 2006 saya menulis judul Amin untuk Pak Amien. Maju terus Pak Amien!

0 comments: