Saturday, May 26, 2007

Kedekatan Singapura-AS, Ancaman DCA

REPUBLIKA - Sabtu, 26 Mei 2007

Padahal Indonesia sedang tak mau didikte AS.

JAKARTA -- Resistensi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terhadap perjanjian ekstradisi dan kerjasama pertahanan (defence cooperation agreement/DCA) antara Indonesia dan Singapura semakin menguat. Mantan Wakil Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD), Letjen (Purn) Kiki Syahnakri, pun meminta politisi Senayan mempertimbangkan aspek geopolitik dan geostrategi sebelum meratifikasi perjanjian tersebut.
Bila merugikan, menurut Kiki, sebaiknya tak perlu diratifikasi. ''Kita lihat orientasi Singapura ke mana? Secara geopolitik dia sangat dekat dengan Amerika Serikat (AS). Padahal kita sedang menjaga jarak dan tak mau didikte AS,'' kata Kiki dalam diskusi mengenai untung rugi perjanjian ekstradisi dan DCA di kantor Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI), Menteng, Jakarta, Jumat (25/5).
DPR juga harus mempertimbangkan potensi konflik yang mungkin terjadi antara Indonesia dan Singapura. Sesuai filosofi militer, lanjut Kiki, tidak ada teman abadi, yang ada kepentingan abadi. Bisa saja hari ini bekerja sama besok bermusuhan. Dalam DCA juga ada ketentuan bahwa Singapura boleh mengajak negara ketiga dalam latihan bersama di wilayah Indonesia. Kiki mengingatkan, jangan sampai Singapura mengajak negara seperti Israel untuk berlatih di wilayah Indonesia.
Untuk angkatan darat Singapura, Indonesia menyediakan fasilitas latihan milik TNI AD di Batu Raja di Sumatera Selatan. Menurut Kiki, Singapura sejak 1996 sudah meminta bisa latihan di siti, namun kelompok kerja bersama yang dibentuk kedua negara gagal mencapai kesepakatan. ''Singapura hanya menawarkan membangun tempat latihan manuver taktis karena mereka tak punya lahan. Itu murah sekali, paling hanya bangun bunker atau sasaran tembak,'' kata Kiki.
Yang diinginkan TNI AD adalah, Singapura membangun simulator tembak artileri, simulator manuver tank, simulator tembak pesawat, dan simulator keterampilan menembak (markmanship). ''Itu memang mahal namun bisa menghemat peluru dan waktu latihan. Dengan simulator artileri kita tak perlu buang amunisi agar prajurit mahir,'' ujarnya.
Pembatalan perjanjianSementara Direktur Perjanjian Internasional Departemen Luar Negeri (Deplu), Arief Havas Oegroseno, mengatakan, setelah ratifikasi ada tenggat enam bulan untuk pembatalan. Pembatalan perjanjian ekstradisi (extradition treaty) secara sepihak oleh satu negara cukup dengan nota diplomatik oleh menteri luar negeri.
''Termination clause (rumusan pengakhiran) itu standar dalam perjanjian mana pun juga,'' kata Havas. Alasan apa pun bisa dikemukakan suatu negara untuk pembatalan. Tidak ada sanksi khusus kecuali menyelesaikan sisa kewajiban hukum yang masih ada, yang diatur dalam pacta sun servanda. Misalnya bila masih ada permintaan ekstradisi oleh Singapura sebelum pencabutan sepihak, maka Indonesia wajib menyelesaikannya. Namun dia mengingatkan, selama ini belum ada satu pun negara yang pernah membatalkan perjanjian ekstradisi.
Havas juga menegaskan, isi perjanjian ekstradisi dengan Singapura sama saja dengan perjanjian ekstradisi Indonesia dengan negara lain. Deplu mengacu pada UU ekstradisi yang sudah ada di Indoensia dan contoh UU ekstradisi dari PBB. Contoh tentang kewenangan pengadilan Singapura menentukan apakah seseorang bisa diekstradisi atau tidak. ''Tapi pengadilan Singapura hanya melihat data kelengkapan ekstradisi, bukan materi kasus,'' kata Havas. Seseorang dapat diekstradisi juga tak hanya karena sudah berstatus terdakwa. ''Secara common law bisa juga karena lari dari berita acara pemeriksaan (BAP) polisi,'' imbuh Havas. n rto

0 comments: