Saturday, May 26, 2007

Korban Lumpur: Mereka Tetap Ingin Bersama

KOMPAS - Sabtu, 26 Mei 2007

Antonius Ponco Anggoro

Tak semua pengungsi korban lumpur Lapindo di Kabupaten Sidoarjo bersedia menerima uang kontrak rumah. Sekitar 906 keluarga atau 3.133 warga Desa Renokenongo hingga saat ini tetap menolak uang kontrak rumah dan memilih tinggal di pengungsian, Pasar Baru Porong.

Malam semakin larut. Sebagian pengungsi sudah terlelap di kios-kios pasar yang dijejali ribuan pengungsi. Namun, sekitar 30 orang masih berkumpul di salah satu sudut yang dijadikan Posko Paguyuban Rakyat Renokenongo Menolak Kontrak. Di tempat itu tersedia tiga papan catur dan satu karambol yang digunakan secara bergantian oleh para pengungsi.
Obrolan ngalor-ngidul terdengar di tengah-tengah mereka. Sebagian lainnya ada yang bermain catur, atau sekadar duduk-duduk sambil mengisap rokok dan menyeruput kopi. Sayup-sayup dari kios pengungsi terdengar alunan musik dangdut dari radio sehingga cukup menghangatkan suasana.
Ketika salah seorang pengungsi menghidangkan nasi hangat berikut ikan asin dan sambal terasi, mereka langsung menyerbunya. Dalam sekejap, hidangan sederhana itu pun habis. Mereka yang tak kebagian tak sungkan makan sepiring berdua dengan pengungsi lainnya.
Begitulah keakraban yang telah mereka jalani selama berbulan-bulan di pengungsian. Keakraban dan kedekatan ini sudah berlangsung lama, jauh sebelum desa mereka terendam lumpur Lapindo. Kini, di pengungsian, suasana itu berupaya mereka lestarikan.
"Dulu, saat kami masih tinggal di Renokenongo, kami semua seperti saudara. Kerja bakti sering kami lakukan. Kalau ada warga yang kesulitan, tetangganya sering membantu," kenang Prayitno, salah satu pengungsi. Selain itu, setiap panen pertama, petani Renokenongo secara bersama selalu menggelar syukuran.
Sekarang keakraban yang mereka jaga dan lestarikan ini menjadi obat stres ketika ganti rugi rumah dan lahan mereka yang terendam lumpur panas tak kunjung dibayar Lapindo. "Dengan berkumpul, kesedihan kami bisa hilang meski hanya sementara," ucap Ketua Paguyuban Rakyat Renokenongo Menolak Kontrak, Sunarto.
Suasana guyub inilah yang ingin mereka pertahankan sehingga mereka menolak uang kontrak rumah yang besarnya Rp 5 juta untuk dua tahun dan disediakan Lapindo Brantas Inc karena pasti mereka akan hidup terpencar. Rasa kekeluargaan yang telah lama mereka bina pasti akan hancur. Karena itu, mereka menuntut pindah bersama-sama ke lokasi yang baru atau disebut Relokasi Mandiri.
Untuk itu, mereka meminta Lapindo Brantas Inc menyediakan lahan seluas 30 hektar di Pandaan, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur. Wilayah itu dipilih agar warga yang dulunya bertani bisa kembali bekerja dan berkumpul dengan tetangganya. Selain itu, mereka menuntut uang muka ganti rugi sebesar 50 persen dari total ganti rugi dan sisanya dibayar dua tahun kemudian.
Namun, tuntutan sebagian warga Renokenongo ini tidak digubris oleh Lapindo, bahkan sekarang tuntutan mereka sudah cenderung tenggelam dan dilupakan. Pasalnya, Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2007 tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo telah memutuskan konsep ganti rugi bagi korban lumpur adalah uang muka ganti rugi sebesar 20 persen dan sisanya dibayar selambat-lambatnya satu bulan sebelum masa kontrak selama dua tahun berakhir.
Meskipun begitu, sebagian warga Renokenongo ini masih akan bertahan di pengungsian sampai tuntutan mereka dikabulkan. Padahal, dengan hidup di pengungsian, segala konsekuensi harus mereka hadapi, kesehatan mereka terancam, untuk mandi harus antre, makanan yang disediakan tidak terlalu bergizi, dan konsentrasi belajar anak-anak terganggu.
Kohesi sosial tinggi
Sosiolog dari Universitas Airlangga, Surabaya, Bagong Suyanto, menjelaskan, sebagian warga Renokenongo yang masih bertahan di posko pengungsian menunjukkan bahwa mereka memiliki community sentiment atau kohesi sosial yang sangat tinggi.
Di suatu lingkungan yang memiliki kohesi sosial tinggi, orang akan berlindung di dalam lingkungan atau kelompoknya pada saat muncul suatu masalah.
Kohesi sosial di masyarakat pedesaan lebih kuat dibandingkan dengan di masyarakat perkotaan.
Sebagian warga Renokenongo memilih bertahan di pengungsian dan menuntut pindah secara bersama-sama ke Pandaan dalam rangka mempertahankan kohesi sosial mereka yang tinggi. "Wajar saja kalau mereka menuntut itu," katanya.
Ganti rugi bagi korban lumpur Lapindo, menurut Bagong, tak hanya sekadar mengganti kerugian secara ekonomi, masalah sosial juga harus diperhitungkan dan dilihat oleh Lapindo Brantas Inc dan pemerintah. Kerugian ekonomi dan sosial inilah yang sampai sekarang masih dilupakan.

0 comments: