Saturday, May 26, 2007

Dipasena: Komite Harga Harus Jadi Prioritas

KOMPAS - Sabtu, 26 Mei 2007

Jakarta, Kompas - Petambak udang Dipasena meminta investor Konsorsium Neptune memprioritaskan pembentukan Komite Penentuan Harga Udang mengingat semua sumber masalah dan konflik yang terjadi antara petambak dan inti plasma berasal dari ketidaktransparanan harga.

Perwakilan petani plasma Dipasena sekaligus Kepala Kampung Dipasena Agung, Carto, di Bandar Lampung, Jumat (25/5), mengatakan, jika investor berhasil mengembalikan kepercayaan petani, semua petambak yang sempat berhenti beroperasi akan kembali aktif.
Menurut Carto, rencana pembentukan komite tersebut sudah disetujui perwakilan plasma, inti atau PT Dipasena Citra Darmaja (DCD), dan kreditor yang sebelumnya gagal memenuhi komitmen PT Recapital Advisors. Persetujuan itu ditetapkan dalam revisi kelima atau terakhir perjanjian kerja sama (PKS) antara plasma dan inti, yang diketahui PT Perusahaan Pengelola Aset (PPS) selaku wakil pemerintah sebagai pemilik saham lama Dipasena.
"Kami harap PKS itu jangan diubah lagi, terutama masalah Komite Penentuan Harga Udang, karena seluruh permasalahan yang terjadi di Dipasena sejak lama disebabkan ketidaksepakatan harga," katanya.
Menurut versi petambak, harga udang jenis Penaeus vanname yang dibeli pihak inti plasma dari para petambak adalah Rp 31.000 per kilogram (kg), padahal harga normal untuk udang ini adalah Rp 50.000 per kg. Adapun harga udang windu (black tiger) dibeli dari petani plasma dengan harga Rp 31.000 per kg, padahal normalnya Rp 54.000 per kg.
Menurut versi Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP), harga udang vanname di pasaran saat ini mencapai Rp 36.000 per kg (per kg terdiri atas 50 ekor), sedangkan harga udang windu mencapai Rp 60.000 per kg (per kg terdiri atas 40 ekor).
Masalah kelayakan harga itu diharapkan akan tuntas dengan adanya Komite Penentuan Harga Udang. Anggota yang akan duduk dalam komite terdiri atas wakil petambak, manajemen Dipasena, dan wakil dari DKP.
Komite tersebut akan melakukan survei harga udang dengan basis di tiga kota, yakni Bandar Lampung, Jakarta, dan Surabaya. Harga udang di ketiga kota itu akan dikompilasi satu sama lain untuk menentukan harga pembelian udang oleh inti.
"Kebijakan itu diharapkan menghasilkan harga yang transparan sehingga semakin menarik bagi plasma," kata Carto.
Berbagai krisis sosial pernah terjadi di pertambakan Dipasena selama tahun 1998-1999. Pada 17 Mei 1999, sekitar 4.000 petambak menduduki Kantor Gubernur Lampung karena merasa dijadikan sapi perahan oleh manajemen PT DCD (Kompas, 18/5/1999).
Krisis itu berlanjut pada 14 Oktober 1999 dengan aksi dan tuntutan yang sama. Akibatnya, 11 November 1999, ribuan karyawan PT DCD meninggalkan tambak karena merasa terancam.
Akibat masalah harga, menurut Carto, 10 persen dari jumlah petambak Dipasena yang mencapai 11.000 orang menghentikan semua aktivitas pertambakannya. Mereka memutuskan kembali ke daerah asal di luar Lampung. Petambak yang masih aktif sekitar 9.000 keluarga.
DKP
Dirjen Perikanan Budidaya Departemen Kelautan dan Perikanan I Made Nurdjana mengatakan, pihaknya berkomitmen membantu penentuan harga udang. "Dalam pelaksanaannya nanti, penentuan harga akan dibantu oleh dinas perikanan setempat," ujar Made.
"Sebenarnya, penentuan harga tidak terlalu bermasalah karena harga udang ditentukan oleh pasar dunia. Kami hanya mencari titik temu jika ternyata ada perbedaan harga antara petambak dan investor," kata Made.
Sebelumnya, pemerintah melepaskan semua hak tagih dan saham yang dimilikinya di Dipasena kepada Neptune dengan harga Rp 688,12 miliar. Hari Sabtu ini Neptune sudah harus menyerahkan Rp 206,44 miliar ke kas negara. Sisanya, Rp 481,68 miliar, harus dibayar paling lambat 1 Juni 2007.
Direktur Jenderal Perbendaharaan Negara Herry Poernomo menyebutkan, semua dana itu belum masuk ke kas negara. "Saya mengharapkan tidak ada masalah sehingga uangnya langsung dapat diterima," katanya.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan, seluruh proses pelepasan saham itu sudah sesuai dengan prosedur.
"Masalah harga bukan satu-satunya pertimbangan. Hal lain yang dilihat adalah masalah teknis, kesanggupan pembeli, dan komitmen terhadap plasma," katanya. (OIN/RYO)

0 comments: