KOMPAS - Selasa, 29 Mei 2007
SUKARDI RINAKIT
Bangun pagi, saya langsung dikagetkan oleh pesan layanan singkat atau SMS seperti ini, "Integritas SBY sudah hamil tua. Amien Rais membantu operasi caesarnya". Entah siapa yang kirim, hanya ada nomor telepon genggam, tak ada nama pengirim.
Bunyi SMS seperti itu hanya menunjukkan bahwa pesimisme publik mulai merebak. Obrolan informal mengenai "operasi caesar", yang berarti cabut mandat Presiden, mulai menyeruak di sela-sela acara formal. Sejauh ini hanya kalkulasinya saja yang belum ketemu (lebih menguntungkan cabut mandat secepatnya atau tunggu nanti 2009?). Belum ada kesepakatan perhitungan mengenai hal itu.
Secara pribadi saya berharap kesepakatan tersebut tidak pernah tercapai. Perubahan kepemimpinan sebaiknya reguler sesuai dengan amanat demokrasi. Dengan demikian, ada penghargaan pada mekanisme kaderisasi dan penguatan bangunan sistem politik.
Seperti panci
Secara prediktif tindakan "operasi caesar" tidak akan terjadi. Momentum dan prasyarat dasar untuk terjadinya gerakan belum mencukupi. Harga beras dan minyak goreng memang naik, angka kemiskinan dan pengangguran memang tinggi, tetapi belum terjadi kelangkaan pangan.
Selain itu, trauma kerusuhan 1998 masih menghantui memori publik. Banyak orang akhirnya menyesal dengan kejadian itu karena membuat mereka kehilangan pekerjaan. Ini membuat orang ragu untuk melakukan "operasi caesar". Lebih daripada itu, sejauh ini juga belum tersedia tokoh dan ideologi pemersatu.
Optimisme seperti itu bukan berarti tanpa celah. Potensi terjadinya arus massa tetap terbuka, terutama pada bulan Juli-Agustus-September tahun ini. Pada ketiga bulan tersebut diperkirakan akan terjadi kelangkaan beras. Hal itu disebabkan oleh mundurnya musim tanam dan kegagalan pemerintah memobilisasi petani. Jika impor beras terhambat, tidak tertutup kemungkinan api politik akan membara di bulan-bulan itu.
Oleh sebab itu, para penguasa Republik jangan terlalu berisik dengan hal-hal yang tidak substansial. Kasus dana Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) tidak lebih hebat daripada kasus lumpur Lapindo. Kalau para penguasa tetap berisik seperti sekarang ini, mereka tak ubahnya seperti panci.
Siapa pun tahu panci kalau dipukul bunyinya kedombrengan. Tidak ada nada dasar yang cocok. Seorang pemimpin yang terlalu banyak bicara dan terlalu khawatir akan citra, tetapi ia tidak cakap menyelesaikan masalah, orang-orang tua Jawa selalu bilang, "koyok panci!" (seperti panci).
Tujuan bernegara
Agar seorang pemimpin tidak seperti panci, bunyi yang harus disuarakan adalah persoalan-persoalan mendasar bangsa. Harga diri dan citra pribadi harus ditempatkan pada urutan keseratus dari prioritas persoalan yang dihadapi rakyat. Apalagi Indonesia saat ini, menurut guru saya di bidang feeling politik, Harry Tjan Silalahi, adalah ibarat wot ogal-ogel (jembatan kayu yang goyang). Kalau tidak hati-hati melintasinya, kita bisa jatuh ke jurang.
Tafsir saya, Indonesia menjadi seperti wot ogal-ogel karena pemerintah tidak mempergunakan tujuan proklamasi sebagai landasan penyusunan kebijakan. Akibatnya, semangat untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia menjadi seperti luntur. Peraturan daerah (perda) bernapas sektarian muncul, perjanjian ekstradisi menyertakan perjanjian pertahanan, penegakan hukum terkesan tebang pilih, buruh migran cenderung diabaikan, dan birokrasi jalan di tempat.
Juga dalam hal meningkatkan kesejahteraan umum, Presiden lebih risau dengan masalah sepele, seperti isu dana DKP daripada menentukan pilihan strategi pembangunan. Padahal, survei beberapa lembaga independen, seperti Litbang Kompas, Lembaga Survei Indonesia, dan Soegeng Sarjadi Syndicate, menunjukkan bahwa secara umum publik merasa semakin berat membeli beras, lauk pauk, bumbu dapur, minyak goreng, pakaian, listrik, biaya pendidikan, kesehatan, dan transportasi.
Lalu bagaimana dengan persoalan mencerdaskan kehidupan bangsa? Para pendidik senior, seperti Prof Dr Mochtar Buchori, kalau ditanya soal itu selalu menjawab ringan, "Silakan dijawab sendiri-sendiri." Seloroh itu menunjukkan keprihatinan mendalam mengenai kualitas pendidikan kita.
Terakhir, dalam hal ikut serta menjaga perdamaian dunia, ada kesan kita melupakan politik bebas aktif karena mendukung resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) No 1747 tentang Iran. Peran Indonesia sebagai pilar negara-negara Asia Tenggara pun dinilai banyak pihak sedang meredup saat ini.
Jika keadaan yang patologis tersebut berjalan terus, bangsa ini memang sedang meniti jembatan kayu goyang. Terpeleset sedikit saja, kita bisa terjerembab jatuh. Oleh karena itu, cita-cita bernegara itulah persoalan mendasar yang harus didengung seorang presiden.
Karena itu, penyelesaian secara adat perselisihan antara Amien Rais dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang terjadi Minggu, 27 Mei 2007, adalah salah satu titik awal yang baik untuk mulai menstabilkan jembatan kayu yang goyang itu.
Akan tetapi, entah mengapa, merenungkan semua itu, tiba-tiba saya teringat pesan Pak Harto. "Kalau kamu nanti jadi pemimpin, pemimpin apa saja, jangan seperti panci. Berisik, kedombrengan," kata Pak Harto sambil tersenyum. Kami lalu minum teh bersama pagi itu.
Sukardi Rinakit Direktur Eksekutif Soegeng Sarjadi Syndicate
Tuesday, May 29, 2007
ANALISIS POLITIK: Bunyi Panci
Posted by RaharjoSugengUtomo at 8:10 AM
Labels: HeadlineNews: Kompas
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment