Tuesday, May 29, 2007

Klinik Perbankan Syariah: Polemik pajak murabahah

BISNIS - Senin, 28/05/2007

Bertahun tahun menjadi ganjalan, pengenaan pajak ganda dalam transaksi keuangan murabahah (jual beli) tak juga selesai. Berulang kali para pelaku industri perbankan syariah maupun regulator (Bank Indonesia) sudah berusaha agar transaksi ini dipandang sebagai produk perbankan, bukan produk jual beli biasa yang terjadi dalam sektor riil. Namun, sepertinya berbagai usaha tersebut nyaris sia-sia karena tak juga memperoleh tanggapan positif dari Direktorat Jenderal Pajak Departemen Keuangan. Masalah kemudian makin melebar karena kini juga menjadi perhatian para pemilik modal asal Timur Tengah yang hendak berinvestasi di Indonesia.Para investor menunggu adanya sebuah kepastian, bagaimana pemerintah mengambil sikap atas pengenaan pajak murabahah. Apakah akan mengikuti praktik umum di dunia dengan memperlakukannya sebagai produk perbankan syariah, atau transaksi perdagangan biasa sehingga terkena pajak dua kali baik untuk pembeli dan penjual.Bila merunut ke belakang, transaksi murabahah sesuai fiqih memang memiliki struktur jual beli dalam rangka memberikan pembiayaan syariah. Contohnya, bank membeli mobil dari dealer untuk kemudian dijual lagi kepada debitor melalui pembayaran cicilan dalam waktu tertentu.Transaksi di atas sebetulnya merupakan produk pembiayaan sebagaimana bank konvensional memberikan kredit dengan mengenakan bunga. Dengan demikian substansi transaksi adalah pembiayaan syariah, bukan jual beli biasa yang layak dikenakan pajak dua kali.Di berbagai negara, pemerintah setempat dengan mudah memahami transaksi murabahah dan dengan mudah memperlakukannya sebagai produk pembiayaan perbankan syariah. Di Malaysia, Pakistan, bahkan di Inggris yang mayoritas penduduknya bukan muslim telah melakukan hal tersebut. Namun, yang cukup mengherankan, mengapa justru di Indonesia polemik terjadi? Dalam industri perbankan syariah yang tengah berkembang dengan begitu pesat malah terjadi paradoks dimana pengenaan pajak berganda akan mengancam pertumbuhan industri ini.Indonesia adalah? pemain terbesar dalam industri keuangan syariah di dunia. Di negeri ini terdapat 21 unit usaha syariah milik bank umum, tiga bank umum syariah, 36 asuransi syariah telah beroperasi-sepuluh lagi segera menyusul-, 105 bank perkreditan rakyat, dan sekitar 3.000 BMT.Untuk instrumen investasi, sedikitnya 13 produk reksa dana syariah tersedia di pasar dan 20 obligasi syariah telah diperdagangkan. Siapapun yang melihat keadaan ini, pasti sepakat bahwa Indonesia merupakan pasar finansial syariah yang sedang tumbuh begitu pesat dan sangat menarik bagi para investor.Perkembangan yang begitu impresif ini barangkali tidak terbayangkan 15 tahun silam, saat industri keuangan syariah baru saja menapaki jalan pertama dengan berdirinya sebuah bank umum syariah. Namun seiring waktu berlalu, ternyata penerimaan masyarakat yang begitu besar menjadikan industri ini menjadi bintang.Tak mengherankan bila kini para pemilik modal-terutama dari negara-negara di kawasan Timur Tengah-begitu antusias hendak berinvestasi. Sejumlah lembaga keuangan bahkan telah melangkah lebih jauh, melakukan penjajakan mencari bentuk investasi syariah yang ideal.Abu Dhabi Islamic Bank telah menyatakan siap memasuki pasar perbankan syariah Indonesia. Kuwait Finance House pun tertarik dengan menyuarakan keinginan yang sama.?? Qatar Islamic Bank, Al Amin Bank Bahrain, serta Islamic Coopertion Development for Private Sector, dan Al Baraka juga tak mau ketinggalan. Namun, sekali lagi, masuknya para investor tersebut mempersyaratkan adanya kepastian rezim pajak. Menurut hemat saya, hal itu bukanlah hal yang sulit untuk menjadikan investasi mereka menjadi nyata, dengan memperlakukan pajak murabahah sebagaimana praktik yang telah umum dan mendunia.

Oleh Muhammad Syafii Antonio
Advisor Bank Syariah Mega Indonesia

Pertanyaan bisa ditujukan ke e-mail: corsec@bsmi.co.id atau redaksi@bisnis.co.idTelp. BSMI 021-79175500 (hunting)

0 comments: