Tuesday, May 29, 2007

Derita TKW: Ada Terpaksa Lari, Ada Pula yang Menjadi Gila

KOMPAS - Selasa, 29 Mei 2007

Dua tenaga kerja wanita (TKW) asal Indonesia bekerja untuk sepasang keluarga keturunan India, Mahender Murlidhar Sabhnani (51) dan istrinya Varsha Mahender Sabhnani (45), di Long Island, New York, AS. Majikan Samirah dan Nona, dua TKW itu, sangat dikenal di lingkungan bisnis AS.
Maklum, mereka memiliki bisnis parfum beromzet jutaan dolsiwi Yunita C
lar AS. Majikan ini juga suka malang melintang di pesta-pesta sosial kalangan jet set New York.
Di rumah, sejoli keturunan India ini adalah "setan". Perbuatan mereka pada dua TKW mengejutkan komunitas Asia dan menjadi berita menghebohkan di New York.
Kisah intinya, Samirah lari dari rumah majikan di Long Island, New York. Samirah hanya memakai celana dan badan berbalutkan handuk. Ia berjalan kebingungan dan tanpa arah. Langkahnya terhenti di Syosset, tak jauh dari rumah mewah majikan. Kasus ini terungkap karena bertemu dengan Satuan Tugas Perdagangan Manusia Federal Wilayah Long Island. Dibantu penerjemah Indonesia, kasus ini terungkap.
Pengadilan di Central Islip, Long Island, sedang menangani kasus ini. Varsha dituduh menggunakan belati kecil untuk melukai bagian belakang kuping Samirah yang berlubang. Saat bekerja, dua TKW ini tak pernah boleh keluar rumah kecuali membuang sampah.
Di pengadilan terungkap, Samirah dijanjikan gaji 200 dollar AS per bulan, sama dengan upah budak. Namun Samirah hanya menerima 100 dollar AS per bulan, yang dia kirimkan ke putrinya di Indonesia.
Dua TKW ini juga tak diberi makanan memadai, dan akhirnya mencuri-curi untuk mendapatkan makanan majikan. Jika ketahuan, Varsha memukuli Samirah dengan sapu, kadang menyiramkan air panas pada pembantu tak berdaya itu.
Pada kasus, Varsha yang bermuka kempot, memberlakukan hukuman. Misalnya, jika Varsha mengamuk, dua TKW ini dipaksa mandi air sedingin endapan di kulkas setidaknya sebanyak 30 kali. Atau dua TKW ini diminta naik turun tangga sebanyak 150 kali jika bersalah.
Mahendra, suami Varsha, juga meminta istrinya mengontrol gerak-gerik pembantunya itu agar tak berkeliaran. Setiap harinya, dua TKW ini mulai bekerja dari jam 4 pagi hingga jam 1 pagi di hari berikutnya, dan hanya tidur tiga jam sehari.
Ancaman dan siksaan fisik dipakai untuk membungkam dua TKW ini. Untuk Nona misalnya, Vasrha mengancam akan menelepon agen di Indonesia untuk memenjarakan suaminya, jika Nona meninggalkan rumah majikan. Polisi New York menemukan sebuah pintu di rumah majikan yang berlepotan darah TKW yang dipukuli itu.
"Tak ada yang bisa mengira bahwa ada orang yang membawa pekerja ke AS untuk dijadikan sebagai budak, dipukuli, disiksa di sebuah rumah indah di daerah elite di Long Island," kata Demetri Jones, jaksa penuntut dan juga Mark Lesko, pengacara dua TKW itu.
Kasus Riyadh
Samirah dan Nona beruntung. Mereka kini dilindungi hukum dan majikannya diusut. Keduanya menjadi saksi dan belum bisa didatangkan ke Indonesia.
Dari Riyadh juga muncul pula berita menyedihkan. Sebanyak 400 TKW asal Indonesia yang diperlakukan tak manusiawi, juga oleh para majikan di Arab Saudi. Kini mereka masih tertahan di penampungan, yang mirip penjara di Riyadh. Beberapa TKW itu dalam kondisi memprihatinkan. Ada yang mengalami sakit jiwa, depresi karena diperkosa, atau cacat akibat penyiksaan.
Ratna binti Marzuki (40), seorang TKW asal Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, adalah pihak yang membawa berita buruk itu. Ratna, yang tiba awal Mei di Indonesia, juga sempat menghuni tempat penampungan (ta saul) di Riyadh selama satu bulan.
Di penampungan tersebut, Ratna menemukan tenaga kerja wanita lain yang kondisinya sangat memprihatinkan. Beberapa dari mereka adalah korban penyiksaan atau pemerkosaan. Akibatnya, tenaga kerja itu mengalami depresi, cacat, bahkan salah seorang di antaranya jadi gila.
TKW ini, yang diberangkatkan penyalur PT Inti Jafarindo, melarikan diri dari rumah Sulaeman di kota Al Ghasim Muaidah, Arab Saudi, karena pekerjaan tidak sesuai perjanjian.
Staf Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia dan Badan Hukum Indonesia, Departemen Luar Negeri TW Soeseno menyatakan saat ini masih sangat banyak tenaga kerja wanita asal Indonesia yang tertahan di ta saul.
Kepala Atase Urusan Perburuhan di KBRI Riyadh, Sukamto, mengatakan permasalahan utama di penampungan adalah kelebihan kapasitas saja. "Gedung penampungan Tasaul milik Arab Saudi secara fisik dan fasilitas bagus," kata Sukamto, yang juga mengaku ada TKW yang gila, depresi atau problem lain.
Isu ta saul nampaknya jauh dari selesai. Masalahnya, jumlah TKW di penampungan, termasuk di penampungan KBRI, terjadi setelah Arab Saudi memberlakukan aturan baru sejak Maret 2007. Pemerintah Arab Saudi mulai 1 Juni nanti akan melakukan razia pada tenaga kerja asing yang tinggal melebihi waktu. Majikan yang menampung mereka juga akan dirazia.
"Ini dikhawatirkan, akan menimbulkan dampak yang luar biasa terhadap penampungan. Saya sudah laporkan ke Menteri Luar Negeri dan Menteri Tenaga Kerja," ungkap Sukamto.
Jumlah TKW yang masuk penampungan dengan jumlah TKW yang berhasil diselesaikan problemnya, tidak seimbang. Lebih banyak yang masuk. "Ini permasalahannya," kata Sukamto.
Menurut dia pihak yang paling bertanggung jawab atas problem TKW adalah perusahaan yang memberangkatkan TKW atau PJTKA. Sukamto juga menyebutkan, problem serius lagi yang sering muncul adalah para TKW yang kabur, kemudian bekerja ke majikan tidak resmi.
Juru Bicara Departemen Luar Negeri Kristiarto Soeryo Legowo mengatakan, KBRI di Arab Saudi telah meminta warga negara Indonesia yang berada di negara itu untuk mematuhi peraturan Pemerintah Arab Saudi.
"Setelah Pemerintah Arab Saudi mengumumkan peraturan itu, perwakilan kita sebenarnya sudah mengimbau semua WNI di Arab Saudi agar bisa memenuhi ketentuan yang berlaku," kata Kristiarto.
"Kita juga sudah mengupayakan pembicaraan dengan Pemerintah Arab Saudi untuk menemukan solusi terbaik guna memecahkan masalah ini, seperti kemungkinan untuk memperpanjang batas waktu yang sudah ditentukan, atau bentuk penyelesaian lain seperti pemutihan kasus mereka di Arab Saudi," ujarnya.
Meski terkesan memberi perhatian dan bantuan, namun Departemen Luar Negeri tak cukup gesit. Untuk melindungi pekerjanya di luar negeri, Pemerintah Indonesia baru akan membangun kantor dan lembaga pelayanan bagi tenaga kerja Indonesia pada Juni 2007.
Kantor pelayanan itu akan didirikan di berbagai kota sentra TKI di seluruh dunia dengan fungsi memberi pelayanan dan perlindungan hukum.
Menggampangkan cara
Ahli hukum Edy Sutrisno Sidabutar menambahkan perlindungan terhadap para TKI, yakni Undang Undang Nomor 39 tahun 2004 sudah mencukupi. UU ini menata mulai dari pengiriman, penempatan hingga pemulangan TKW. Berbagai persyaratan harus dipenuhi oleh TKW dan juga ada kewajiban PJTKA.
Masalahnya, kata Sidabutar, implementasi UU di lapangan yang tidak jalan. Ada PJTKA yang tak mau repot dengan memenuhi berbagai persyaratan, dan ada pula instansi terkait yang tidak memantau maksimal tugas-tugasnya, bahkan berkolaborasi dengan PJTKA memberangkatkan TKI ilegal.
Namun kemiskinan di dalam negeri, juga menjadi inti dari persoalan TKW. Di AS, pemeriksa tiket saja bisa bergaji Rp 23 juta sebulan. Di Indonesia, itu adalah gaji tingkat eksekutif, yang tidak banyak menikmatinya. Akan kita terus membiarkan kisah tragis TKW, dengan terus membiarkan ekonomi domestik bangkit(AHA/MTH/FRO/NIT)

0 comments: