KORAN TEMPO - Selasa, 29 Mei 2007
"Kami hidup dalam ketakutan dan rasa waswas."
BANDAR LAMPUNG - Ratusan warga Desa Sungai Nibung, Gedong Meneng, Kabupaten Tulang Bawang, dipaksa keluar dari desa mereka oleh aparat keamanan, yang dibantu oleh orang sewaan PT Central Pertiwi Bahari.
"Kami sudah tidak tahan. Desa kami dikelilingi parit selebar 1 meter dengan kedalaman 3 meter," ungkap Suyono, 50 tahun, salah seorang warga Sungai Nibung, yang ditemui di Bandar Lampung kemarin.
Akibat adanya parit itu, 700-an warga Dusun Kerawang Baru dan Teluk Baru seolah terisolasi. Kendaraan warga, sepeda motor dan sepeda, tak dapat keluar-masuk desa. Warga mesti berjalan kaki 7 kilometer untuk menuju pasar. Anak-anak harus menempuh jarak yang lebih jauh untuk mencapai sekolah. "Mereka harus berjalan kaki ke seberang desa," ungkap Suyono.
Masih belum cukup, kondisi desa yang terisolasi ini diperparah adanya aksi teror di malam hari. "Kami hidup dalam ketakutan dan rasa waswas. Beberapa orang tak dikenal merusak dan menjebol dinding rumah warga," Suyono mengisahkan.
Keruwetan bermula saat PT Central Pertiwi Bahari, pembeli Dipasena Citra Darmaga, mengukur lahan warga secara sepihak beberapa bulan lalu. Perusahaan ini juga memaksa warga menerima uang ganti rugi tanah yang dinilai tidak layak, yakni Rp 1 juta untuk 1 hektare lahan. "Kami yang menolak uang ganti rugi mendapat teror," tutur Suyono.
Gugun, warga Dusun Tanjung Baru, termasuk yang bertahan menolak ganti rugi. "Ini tanah harapan hidup kami. Tambak pun mulai panen," ungkapnya.
Sejauh ini warga yang terancam terusir dari desanya mencapai 4.000 jiwa. Mereka bermukim di tiga blok di wilayah Kecamatan Gedong Meneng, Tulang Bawang. Sebagian warga terpaksa menerima ganti rugi karena tidak tahan diintimidasi.
Menengok ke belakang, 18 ribu hektare lahan yang menjadi obyek sengketa dulunya adalah milik PT Central Proteinaprima Tbk.--pemilik lama kompleks tambak udang Dipasena. Tanah ini sejatinya adalah hibah dari pemerintah--pada saat Menteri Kehutanan dijabat oleh Djamaludin Suryohadikusumo--kepada beberapa perusahaan.
Memasuki krisis ekonomi pada 1997, Dipasena terbengkalai hingga akhirnya lahannya dibeli PT Central Pertiwi. Sementara itu, lantaran terbengkalai, sejak 1999 lahan Dipasena diduduki warga. Kebun sayur dan tambak udang milik warga bermunculan.
Kemudian beberapa bulan lalu PT Central Pertiwi Bahari, sang pemilik baru, hendak memperluas area tambak udang. Di sinilah terjadi keributan. "Kami punya bukti kuat dan bisa dipertanggungjawabkan," kata juru bicara PT Central Pertiwi Bahari, Slamet Taufik, kemarin.
Menurut Slamet, perusahaannya justru berbaik hati dengan memberi ganti rugi. "Mestinya kami tidak memberi uang sepeser pun kepada warga," ucapnya. Dia membantah tudingan warga yang menyatakan perusahaan melakukan intimidasi. "Itu bohong," dia menegaskan.
PT Central Pertiwi Bahari, Slamet menekankan, adalah perusahaan yang bergerak di bidang tambak udang berteknologi tinggi dengan orientasi ekspor. "Kami bukan tuan tanah," ujarnya.
NUROCHMAN
Tuesday, May 29, 2007
Perusahaan Tambak Usir Warga Desa
Posted by RaharjoSugengUtomo at 8:30 AM
Labels: HeadlineNews:KoranTempo
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment