Thursday, May 24, 2007

Depkeu Pilih Perdata; Langkah Pemerintah Dinilai Tidak Akan Maksimal

KOMPAS - Kamis, 24 Mei 2007

Jakarta, Kompas - Departemen Keuangan memprioritaskan pengembalian kerugian negara dari delapan pemegang saham bank eks Badan Penyehatan Perbankan Nasional atau BPPN melalui upaya perdata di luar pengadilan. Upaya itu diharapkan akan memaksimalkan tingkat pengembalian kerugian negara.

"Departemen Keuangan (Depkeu) hanya menerima limpahan masalah perdatanya dari BPPN. Penyelesaian pidana itu adalah kebijakan tersendiri, dan saya tidak bisa melarangnya," ujar Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati di Jakarta, Rabu (23/5).
Pernyataan Menkeu itu diungkapkan menanggapi langkah Kejaksaaan Agung yang merekrut 75 jaksa dari seluruh Kejaksaan Tinggi di Indonesia untuk memperkuat penanganan kasus dugaan korupsi penyalahgunaan dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia. Termasuk dalam penanganan Kejaksaan Agung itu adalah kasus yang terkait delapan pemegang saham tersebut.
Delapan pemegang saham itu adalah Marimutu Sinivasan (Bank Putera), Ulung Bursa (Bank Lautan Berlian), Atang Latief (Bank BIRA), Lidia Muchtar dan Omar Putirai (Bank Tamara), Adisaputra Januardy dan James Januardy (Bank Namura Yasonta), serta Agus Anwar (Bank Pelita dan Bank Istimarat).
Pemerintah sempat memberi peluang pembebasan dari tuntutan pidana jika pemegang saham melunasi seluruh utangnya. Pembebasan itu dilakukan agar proses pengembalian kerugian bisa lebih cepat. Mekanisme pembebasan itu diberikan dengan metode pengesampingan (deponering) perkara pidana demi kepentingan umum. (Kompas, 18/3/2006)
Kebijakan itu tidak terlaksana karena hingga batas waktu 31 Desember 2006 tidak satu pun dari delapan pemegang saham itu yang melunasi utangnya. Oleh karena itu, Kejaksaan Agung mengupayakan upaya pidana.
Hasil audit Badan Pemeriksa keuangan (BPK) menunjukkan, Jumlah Kewajiban Pemegang Saham (JKPS) adalah Rp 2,3 triliun. Sementara pemerintah menetapkan dua perhitungan.
Pertama, perhitungan dengan asumsi seluruh pemegang saham gagal bayar senilai Rp 9,4 triliun. Kedua, perhitungan dengan asumsi Akta Pengakuan Utang (APU) Reformulasi dengan nilai sebesar Rp 2,54 triliun.
Sri Mulyani mengatakan, publik akan menerima hasil perhitungan pemerintah yang jauh lebih tinggi dibanding BPK, dari segi kepatutan maupun hukum. Karena itu, pemerintah tetap menagih dengan jumlah tagihan yang lebih tinggi dari BPK.
"Sekarang yang jadi masalah adalah apakah para pemegang saham itu memiliki kemampuan membayar sesuai yang kami minta? Kami berkewajiban mengambil pembayarannya," katanya.
Tidak maksimal
Anggota Komisi XI (pasangan kerja Menkeu dalam pembahasan PKPS) Dradjad H Wibowo mengatakan, berdasarkan pengalaman, penyelesaian perdata tidak akan menghasilkan penerimaan negara secara maksimal. Alasannya, posisi para pemegang saham bank lebih kuat karena memiliki hasil audit BPK. Oleh karena itu, penyelesaian pidana masih yang terbaik.
Di sisi lain, katanya, jika Depkeu menggunakan tagihan yang lebih rendah dari perhitungannya, akan ditafsirkan sebagai kerugian negara. (OIN)

0 comments: