KOMPAS - Kamis, 24 Mei 2007
Yenti Aprianti
Hidup serasa di ambang kematian. Tak ada lagi harapan ketika HIV dinyatakan bersemayam di tubuh. Tak heran, banyak orang dengan HIV/AIDS atau ODHA pada awalnya mengalami masa sedih yang mendalam. Bagi para ODHA perempuan, sejuta pertanyaan menghantui diri. Adakah orang yang mau menikahi? Bisakah ia hamil lalu melahirkan?
Din, sebut saja begitu, juga merasakan itu. Pada masa lalunya, ia menjalankan seks bebas dengan kekasihnya. Kehidupan bebas berakhir ketika ia bertemu Jak (27), kekasih baru yang dikenalnya menjalani hidup sehat. Dua minggu sebelum menikah, Din menjalani serangkaian tes kesehatan dan mendapatkan kenyataan pahit bahwa ia mengidap HIV. Bumi serasa runtuh hari itu. Padahal, pertunangan sudah dilaksanakan.
Mengetahui kondisi anaknya, orangtua Din pun tak memaksa calon menantunya untuk melanjutkan rencana pernikahan. "Kalau Jak mau membatalkan, silakan. Tetapi kalau tetap menikahi anak saya, namanya mukjizat," ujar orangtua Din.
Jak memang galau. Ia menemui ibunya. "Ibu bilang, kematian hanya Tuhan yang menentukan. Tak ada manusia yang bisa memperkirakan kematian orang. Bahkan dokter sekalipun," ujar Jak menirukan kata-kata ibunya yang penuh pengertian dan sama sekali tak memiliki stigma terhadap ODHA. Nasihat itu meneguhkan Jak menikahi Din.
"Orangtua Din mengatakan pernikahan mereka mukjizat. Namun, saya merasa itu cinta," kata Jak yang disambut tepuk tangan puluhan ODHA yang hadir dalam Malam Renungan AIDS, Senin (21/5) di Gedung Yayasan Pusat Kesenian, Jalan Naripan, Kota Bandung.
"I love you," teriak para ODHA kepada Jak yang memberikan testimoni malam itu. Maklum saja, banyak ODHA sangsi ada orang bukan ODHA mau hidup bersama mereka, apalagi sampai membagi hidupnya. Kata-kata Jak rupanya mengobarkan rasa dihargai dan semangat untuk hidup.
Jak melanjutkan kisahnya. Ia mengaku hidup sehat, tidak merokok, tidak minum alkohol, serta tidak melakukan seks bebas. Hidup bersih itu pula yang membuatnya yakin bisa mendampingi istrinya dalam keadaan sehat dan sakit.
Pada awal pernikahan, Jak dan Din pergi ke beberapa tempat, mencari berbagai informasi. Mereka dapat berumah tangga dengan wajar seperti pasangan bukan ODHA lainnya. Syaratnya, istrinya yang ODHA harus minum obat Antiretroviral (ARV) setiap 12 jam, tak boleh absen selama satu tahun.
Istrinya pun tak boleh minum soda. Soda menyebabkan luka di lambung. Ini akan sangat merepotkan. Bagi orang tanpa HIV, luka lambung bisa sembuh dalam tiga hari, tetapi bagi ODHA bisa memakan waktu sebulan.
ODHA juga tak boleh minum alkohol agar kekebalan tubuhnya tak mudah turun. Mereka juga tak boleh begadang agar tak mudah terserang flu. Flu bisa menggerogoti kekebalannya dalam waktu cukup lama. Lalapan atau sayur mentah pun tidak boleh lagi dikonsumsi karena lalapan kurang steril bagi mereka.
Din taat menjalani aturan itu. Akhirnya, setelah setahun, ia mengikuti tes. Hasilnya sel darah putihnya kurang dari 400/mm dan virus HIV tidak terdeteksi. Dokter mengizinkan Din hamil. Jak dan Din segera mengikuti program memiliki anak. Mereka dapat berhubungan tanpa kondom. Tak lama, Din pun hamil.
Selama hamil, ia terus melakukan terapi ARV untuk menekan jumlah virusnya. "Kebetulan istri saya cocok menggunakan ARV dengan dosis ringan sehingga tidak ada keluhan," ujar Jak.
Jak terus membantu istrinya agar bisa makan sehat sesuai anjuran dokter. "Asalkan makan empat sehat lima sempurna, kekebalan tubuhnya tidak akan drop. Hidup dengan ODHA perempuan mudah, kok," ujar Jak yang yakin bahwa dengan hidup sehat segala penyakit bisa diatasi.
Saat melahirkan menjadi saat yang mengkhawatirkan. Namun, dokter terus mendampingi dan memberikan wawasan-wawasan baru sehingga mereka makin yakin menghadapi hari yang bagi perempuan tanpa HIV pun merupakan masa-masa sangat menegangkan.
"Dokter mengatakan, berdasarkan hasil penelitian, jika ODHA perempuan melahirkan normal, kemungkinan bayi terinfeksi HIV sebanyak 3 persen karena ia akan melewati lubang vagina ibunya dan kemungkinan cairan vagina itu menginfeksinya," kata Jak.
Sedangkan jika dilakukan caesar, kemungkinan penularannya hanya 0,03 persen. "Kami pilih caesar," ujar Jak.
Kini bayi mereka berusia dua minggu. Sejak pertama dilahirkan, bayinya sudah mendapatkan air susu ibu (ASI). Namun, karena gen dari ibunya masih sangat berpengaruh, bayinya pun harus mendapatkan obat ARV setiap delapan jam sehari. "Obat itu kami teteskan ke mulutnya. Untung anak saya tidak rewel," ujar Jak.
Bayinya baru akan dites setelah usianya 1,5 bulan. "Kami cukup tenang menghadapinya. Mudah-mudahan hasilnya negatif," harap Jak.
397 kasus
Menurut Ronald Jonathan, Konsultan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) untuk Jawa Barat, provinsi ini memiliki ODHA perempuan cukup banyak. Hingga Desember sudah tercatat 397 orang.
Ronald juga mengatakan bahwa ODHA perempuan tetap berkesempatan untuk hamil dan memiliki anak. Berdasarkan penelitian, hanya 25-40 persen bayi yang dilahirkan ODHA perempuan terinfeksi HIV.
Risiko penularan tersebut bisa dihindari jika ibu dan ayahnya melakukan hubungan seks pada saat virus tak terdeteksi.
"Sayangnya untuk tes tersebut biayanya mahal, Rp 850.000. Jadi jarang juga ada pasangan ODHA yang melakukannya, kecuali mereka yang berasal dari kalangan ekonomi atas," ujar Ronald.
Namun, virus bisa tak terdeteksi jika ODHA perempuan rajin melakukan terapi ARV setidaknya selama 1-1,5 tahun sebelum merencanakan hamil.
Artinya, asalkan disiplin, ODHA perempuan bisa hidup sehat dan meraih impiannya....
Thursday, May 24, 2007
HIV/AIDS: Mudah, Hidup dengan ODHA Perempuan
Posted by RaharjoSugengUtomo at 9:09 AM
Labels: HeadlineNews: Kompas
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment