Thursday, May 24, 2007

Gunung Merapi Terus Semburkan Awan Panas

KORAN TEMPO - Kamis, 24 Mei 2007

Dia mencatat selama tiga bulan terakhir terjadi rata-rata dua kali luncuran awan panas dalam sepekan dari gunung setinggi 2.968 meter di atas permukaan laut itu.

YOGYAKARTA -- Sejak mengalami puncak erupsi pada 14 Juni tahun silam, kondisi Gunung Merapi di perbatasan Jawa Tengah dan Yogyakarta masih fluktuatif.
Kemarin, sekitar pukul 09.30 WIB, Merapi menyemburkan wedhus gembel--sebutan lain awan panas--dari puncak Merapi ke arah Sungai Gendol. Namun, tidak ada penduduk yang menjadi korban.

Berdasarkan pengamatan petugas, jarak luncur awan panas itu mencapai satu kilometer menuju kawasan Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman. "Awan panas yang keluar merupakan rangkaian dari erupsi Merapi setahun lalu," kata Kepala Seksi Gunung Merapi pada Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian Yogyakarta Subandriyo. Dia mencatat selama tiga bulan terakhir terjadi rata-rata dua kali luncuran awan panas dalam sepekan dari gunung setinggi 2.968 meter di atas permukaan laut itu.
Merapi mengalami puncak erupsi pada 14 Juni 2006 dengan volume awan panas sekitar 4 juta meter kubik. Masa erupsi gunung ini, kata Subandriyo, tidak menentu. "Kadang dua bulan, tapi pernah pula dua tahun," ucapnya.
Lantaran seringnya menyemburkan awan panas, kata Subandriyo, status Merapi masih dipertahankan pada level waspada. Artinya, kawasan lereng Merapi belum sepenuhnya aman.
Subandriyo juga mengungkapkan saat ini terjadi pertumbuhan kubah lava yang muncul sejak 2006 lalu. Penyebabnya adalah seringnya terjadi gempa tektonik dan vulkanik di kawasan itu. "Saat ini volumenya mencapai 1,2 juta meter kubik."
Subandriyo menegaskan kondisi kubah itu sangat labil. Karena itu, dia meminta kepada pemerintah agar kawasan hingga radius enam kilometer dari puncak Merapi dikosongkan dari aktivitas penduduk. "Posisi kubah itu menggantung dan mudah longsor."
Menurut petugas jaga di Pos Pengamatan Kaliurang, Ahmad, selain awan panas, kemarin Merapi juga mengalami gempa guguran 34 kali, gempa multifase 10 kali, dan gempa tektonik satu kali dengan magnitude kurang dari 2 skala Richter.
Keadaan ini menuntut kawasan yang rawan bencana letusan selalu siaga. Kabupaten Klaten, salah satu daerah rawan, hingga kini belum memiliki sistem peringatan dini bagi warga. "Padahal ada lima titik yang mesti dipasangi alat deteksi itu," kata Sekretaris Satuan Pelaksana Penanganan Bencana Klaten Eko Medisukasto. Menurut Eko, mereka tengah menunggu hibah alat deteksi itu dari sebuah lembaga swadaya di Jepang. SYAIFUL AMIN IMRON ROSYID

0 comments: