Thursday, May 24, 2007

Meletakkan Irak di Tangan Indonesia

REPUBLIKA - Kamis, 24 Mei 2007

Pada 8-15 Mei 2007, tim kecil utusan Pemerintah Indonesia mengunjungi Lebanon, Yordania, dan Suriah. Tim itu bertugas menyosialisasikan Deklarasi Bogor yang merupakan hasil pertemuan ulama Suni-Syiah di Bogor 3-4 April 2007. Wartawan Republika, Irfan Junaidi melaporkan perjalanan tersebut dalam tiga tulisan. Berikut bagian pertamanya.

Politik adu domba berhasil dijalankan AS, untuk terus memanaskan Irak. Kelompok Syiah dan Suni diprovokasi sehingga perang di antara keduanya sulit dipadamkan. Korban sipil dari kedua pihak terus berjatuhan. Situasi di Irak menjadi bertambah runyam. Lewat skenario ini, AS merasa punya alasan kuat melanjutkan invasinya di Irak.
Indonesia telah menginisiasi perdamaian Suni-Syiah dengan menggelar Konferensi Internasional Pemimpin Islam untuk Rekonsiliasi Irak di Bogor 3-4 April 2007. Enam butir deklarasi kemudian dilahirkan oleh konferensi tersebut. Di antara hal penting yang tertuang dalam deklarasi tersebut adalah desakan kepada AS agar segera menarik pasukannya. Selain itu, para ulama juga memandang sebenarnya antara Suni dan Syiah tidak memiliki perbedaan esensial dalam memegang ajaran Islam.
Konferensi tersebut selanjutnya menugaskan Pemerintah Indonesia, NU, dan Muhammadiyah menyebarkan Deklarasi Bogor kepada masyarakat internasional. Pemerintah pun menunjuk tim kecil yang diketuai Utusan Khusus Presiden untuk Urusan Timur Tengah, Alwi Shihab. Tim tersebut beranggotakan KH Maghfur Usman (ketua Pengurus Besar NU), Yunahar Ilyas (ketua PP Muhammadiyah), dan KH Jalaluddin Rakhmat (ketua umum Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia).
Hari Selasa (8/5) sekitar pukul 9.30, tim yang didampingi Direktur Timur Tengah Deplu, Aidil Chandra Salim, itu mendarat di Bandara Rafiq Hariri, Beirut, Lebanon. Ayatollah Syeikh Abdul Amir Qabalan, ketua Majelis Tertinggi Islam Syiah Republik Lebanon, dan Mufti Republik Lebanon, Syeikh Mohammad Rashid Raghib Qabbani, merupakan dua tokoh yang pertama ditemui secara terpisah oleh delegasi tersebut. Keduanya memberi pandangan yang sama, yakni dialog antara Suni dan Syiah yang digelar di Indonesia memiliki makna strategis.
Di Kantor Majelis Tinggi Islam Syiah Republik Lebanon, di Beirut, Syeikh Qabalan dengan beberapa pendampingnya menerima tim tersebut. Satu hal mendasar yang dia kemukakan dalam pertemuan itu adalah dialog saja tidak cukup untuk menghentikan perang di Irak. ''Saya mengharapkan, Presiden Indonesia bisa berkunjung ke Irak dan berbicara langsung dengan wakil Suni maupun Syiah,'' ungkap dia.
Dia juga menekankan supaya kalangan Suni dan Syiah terus berupaya membuat visi yang sama demi kepentingan umat secara luas. Visi tersebut diharapkannya mampu menipiskan jarak antara keduanya. Qabalan sangat yakin segala upaya yang ditujukan guna membangun kerja sama dalam kebaikan akan mendapatkan respons positif dari semua pihak dan restu dari Tuhan.
Dari kantor Majelis Tinggi Islam Syiah Lebanon, tim langsung bertolak ke kediaman Mufti Lebanon, Syeikh Qabbani. Di ruang tamu yang tertata rapi, tokoh Suni yang berwajah sejuk itu menerima tim tersebut tanpa pendamping. Sebuah ide menarik untuk mengakhiri peperangan di Irak dia ungkapkan dalam pertemuan tersebut. Ide itu adalah mengadopsi model penyelesaian perang saudara di Lebanon untuk diterapkan dalam kasus Irak.
Selama beberapa tahun sejak 1975, Lebanon larut dalam perang saudara. Diperkirakan 100 ribu warga sipil tewas dalam peperangan itu. Atas sponsor Arab Saudi, pada 1989 seluruh wakil elemen yang terlibat peperangan bertemu di Thaif, Arab Saudi. Mereka kemudian melahirkan kesepakatan damai yang kerap disebut Perjanjian Thaif.
Karena itu, dia menyarankan supaya seluruh wakil dari elemen masyarakat Irak bisa dikumpulkan di luar Irak. Menurut dia, Mesir atau Arab Saudi merupakan tempat yang paling tepat untuk mempertemukan mereka. Dari pertemuan itu kemudian diharapkan semuanya bisa sepakat melakukan gencatan sekaligus perlucutan senjata.
Bersamaan dengan itu, Qabbani juga meminta agar tentara AS di Irak bisa ditarik ke barak. Tugas pengamanan di lapangan kemudian diserahkan kepada pasukan PBB dan pasukan dari negara-negara Muslim. Setelah itu, menurut dia, Irak perlu menggelar pemilihan umum yang dipayungi PBB, dan membentuk pemerintahan persatuan yang benar-benar mewakili kekuatan semua kelompok yang ada di Irak.
''Ide ini menjadi realistis jika semua pihak memiliki kemauan keras untuk menyelesaikan krisis di Irak,'' tutur Qabbani. Dari kediaman Qabbani, tim kemudian melakukan pertemuan tertutup dengan Menlu ad interim Lebanon, Tariq Mitri di kantornya. Dari Beirut, rombongan kemudian bertolak ke Amman (Yordania) dan Damaskus (Suriah).
Selain bertemu Menlu Yordania, Abdul Ilah, di Amman tim juga diterima Penasihat Khusus Raja Yordania, Pangeran Ghazi bin Muhammad. Sedangkan di Damaskus, tim diterima Grand Mufti Republik Arab Suriah, Syeikh Dr Ahmad Badrouddin Hassoun, dan Dr Solahuddin Kaftaro, ketua umum Syeikh Ahmad Kaftaro Islamic Foundation, yang juga menghadiri Konferensi Bogor.
Berbagai tokoh yang ditemui itu umumnya menganggap Indonesia memiliki posisi strategis untuk berperan dalam menciptakan perdamaian di Irak. Mereka mengatakan Indonesia merupakan negara berpenduduk Muslim terbesar, sehingga pengaruh positifnya bisa sangat diharapkan.
Cuma, Pangeran Ghazi meminta agar peran Indonesia dalam kasus Irak bisa fokus. Persoalan yang berkembang di Irak sangatlah kompleks, sehingga tidak mungkin Indonesia mengambil seluruh bagian itu. Ketua Tim, Alwi Shihab, pun menanggapi masukan tersebut dengan mengatakan pendekatan terhadap ulama menjadi peran yang dipilih Indonesia untuk membantu mengakhiri krisis Irak.

0 comments: