Rabu, 16 Mei 2007
DPR akan kesulitan meratifikasi dua perjanjian RI-Singapura itu.
JAKARTA -- Proses legislasi untuk meratifikasi perjanjian ekstradisi antara Indonesia dan Singapura, berpotensi ditolak DPR. Kemungkinan kandas ini karena adanya penggabungan soal ekstradisi itu dengan perjanjian pertahanan (defence cooperation agreement/DCA) di antara kedua negara sehingga mempersulit legislasinya.
''Kemungkinan ini ditolak karena dijadikan satu paket. Soalnya, dalam perjanjian pertahanan, banyak keberatan yang muncul. Ini jadi potensi untuk penolakan itu,'' kata anggota Komisi I DPR dari Faksi PAN, Joko Susilo, Selasa (15/5). Dia mengungkapkan, dalam pembahasan jauh sebelumnya, perjanjian ekstradisi dan DCA dilakukan secara terpisah. Namun, dalam penandatanganannya April lalu di Tampak Siring, Bali, melibatkan dua bidang itu.
Pada pembahasan itu, menurut Joko, walaupun tak memuaskan soal perjanjian ekstradisi tak banyak mengundang perdebatan. Sedangkan pembahasan DCA banyak bolongnya dan dilakukan dengan kurang transparan. ''Karena itu, saya khawatir, ini nanti ditolak oleh DPR.'' Bila penolakan itu terjadi, akan menjadi sejarah bagi legislatif Indonesia. Soalnya, selama ini DPR tidak pernah menolak ratifikasi.
Joko juga menyayangkan pemerintah Indonesia yang sampai saat ini belum menyampaikan aau seolah menyembunyikan rancangan undang-undang (RUU) pengesahan perjanjian ekstradisi. Justru, Komisi I DPR mendapatkan naskah perjanjian itu dari pihak Singapura. ''Kita dapatkan yang dari Singapura itu dengan berbagai cara. Pokoknya, kita dapatlah.''
Tergantung ratifikasi DCAMenteri Pertahanan Juwono Sudarsono, mengatakan, Indonesia tidak rugi bila tidak meratifikasi DCA. Namun, ratifikasi perjanjian ekstradisi yang dibahas paralel satu paket dengan DCA tak akan bisa diratifikasi tanpa meratifikasi DCA.
''Kalau ratifikasi DCA terkatung-katung kita tidak ada kerugian apa-apa. Yang lebih butuh sebetulnya Singapura,'' kata Juwono usai serah terima jabatan Dirjen Perencanaan Pertahanan, dari Laksamana Muda Yuwendi kepada Laksamana Muda Tejo Eddy Purdiatno, dan jabatan Irjen Dephan dari Laksamana Madya Irman Zaky kepada Laksamana Madya Sumardjono, di Dephan, Selasa (15/5).
Namun Juwono akan mencoba meyakinkan DPR dan rakyat Indonesia bahwa isi DCA tidak mengurangi kedaulatan maupun kepentingan masing-masing negara. Ia mengingatkan, sejak Oktober 2005 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Perdana Menteri (PM) Singapura, Lee Hsien Loong, sepakat kedua perjanjian dalam satu paket karena ada kesejajaran antara ekstradisi dengan kerjasama pertahanan.
Dengan begitu, lanjut Juwono, kemajuan salah satu perjanjian harus paralel waktunya dengan perjanjian lain walau tidak serta merta selalu terkait. ''Jadi jika ekstradisi tidak diratifikasi, DCA juga tidak, karena kesepakatannya seperti itu. Tapi kita akan lihat, namanya juga tawar-menawar,'' kata Juwono.
Dalam perjanjian ekstradisi, Indonesia berkepentingan mendapatkan kembali buronan konglomerat hitam dan aset yang di parkir di Singapura. Sementara lewat DCA, Singapura membutuhkan ruang darat, laut, dan udara untuk tempat latihan militer.n wed/rto
Wednesday, May 16, 2007
Ekstradisi dan DCA Terancam Kandas
Posted by RaharjoSugengUtomo at 9:08 AM
Labels: HeadlineNews: Republika
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment