Wednesday, May 16, 2007

Sebuah Dedikasi dari Kepulauan Aru

Rabu, 16 Mei 2007

Sesekali tatapannya menerawang. Kosong. Sedetik kemudian, seulas senyum tampak. Dengan suara agak parau lantaran lelah menempuh perjalanan panjang dari Kepulauan Aru, Maluku, menuju Surabaya, Jawa Timur, dokter Yohanis Parranuan berujar, ''Inilah hidup saya. Semua harus saya jalani apa pun keadaannya.''

Sebagai dokter di Kabupaten Kepulauan Aru, Provinsi Maluku, kehidupan Yohanis adalah kehidupan yang lekat dengan perjalanan jauh. Kehidupan yang akrab pula dengan laut lepas berombak tinggi, bermalam berhari-hari di sebuah pulau kecil, dan terombang-ambing di lautan tanpa bantuan selama beberapa hari.
Bagi Yohanis, itu hanyalah penggalan kisah dokter di daerah pedalaman. Penggalan demi penggalan lain bermunculan ketika bertutur tentang situasi sulit saat mengoperasi pasien di pulau-pulau kecil --dengan peralatan operasi yang minim, air bersih yang langka, lampu penerang seadanya hingga ketiadaan paramedis.
Namun, cobaan pria berusia 46 tahun ini tidak terhenti di situ. ''Saya sudah bercerai tiga tahun lalu,'' ucap Yohanis. Tiga tahun lalu, sang istri melayangkan gugatan cerainya. Berpisah dengan istri, pria kelahiran Tana Toraja, Sulawesi Selatan, pada 1 Agustus 1960 ini juga terpaksa tinggal terpisah dari anak-anaknya. ''Untuk saya, inilah ujian sesungguhnya,'' kata dia.
Tiga dari empat anaknya harus tinggal berjauhan. Anak pertama menempuh pendidikan kedokteran di Cina dan dua anaknya yang lain tinggal di Makassar. Hanya satu anak yang masih bersamanya. Namun, semua itu tidak lantas membuatnya gamang. Dokter Yohanis tetap bertahan dengan profesi yang sudah digelutinya selama 20 tahun. ''Inilah konsekuensi menjadi dokter di daerah terpencil,'' kata dia.
Secara geografis Kabupaten Kepulauan Aru merupakan kabupaten baru dimekarkan dan termasuk daerah terisolasi, tertinggal, serta kawasan perbatasan. Pelaksanaan pembangunan kesehatan di Kabupaten Aru dilaksanakan sesuai kebutuhan pelayanan kesehatan masyarakat. Dengan peralatan kedokteran yang jauh dari memadai dan kondisi yang terbatas, beberapa dokter pegawai tidak tetap (PTT) yang sempat ditugaskan ke wilayah tersebut memilih pulang kampung.
Kondisi nyaris serupa juga terjadi di Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat, dengan enam kecamatan yang memiliki desa terpencil dan berbatasan dengan Malaysia. Karena ketiadaan dokter maupun puskesmas memadai, sejumlah warga terpaksa menyeberang ke Malaysia sekadar berobat.
''Kalau warga yang tidak punya uang, ya berobat ke dukun. Akan tetapi, yang berduit atau menengah ke atas, biasanya pergi ke poliklinik atau rumah sakit di Malaysia. Ini sangat menyedihkan. Namun, faktanya seperti itu,'' tutur Sjachrin Harahap, Kabid Yankes Subdinkes Sambas, Kalbar. ''Banyak warga yang meninggal karena terlambat ditangani,'' lanjut dia.
Dokter Edi Suranto, direktur Bina Kesehatan Komunitas Departemen Kesehatan, dalam pertemuan 'Koordinasi Pelayanan Kesehatan Daerah Perbatasan dan Pulau-pulau Kecil Terluar' di Surabaya, Kamis (3/5), mengatakan, masih banyak daerah yang kekurangan dokter atau tenaga paramedis.
Untuk memenuhinya, Departemen Kesehatan akan mengirimkan sekitar 4.000 dokter PTT ke daerah terpencil, berada di perbatasan, atau di pulau terluar. ''Tenaga dokter PTT yang dibutuhkan umumnya dokter umum, dokter spesialis gizi, dan bidan,'' kata Edi.
Setiap tahun sejumlah daerah meminta pemerintah pusat menyediakan tenaga dokter dan perawat. Namun, untuk memenuhinya kerap terkendala. Pada tahun 2006, sebanyak 1.236 dokter PTT telah dikirim ke daerah terpencil. ''Dari satu periode (enam bulan) dibutuhkan dua ribu. Jadi, kalau satu tahun setidaknya butuh empat ribu,'' kata Edi.
Dokter adalah cita-cita Yohanis sejak kecil. Di mata pria berkumis tipis ini, dokter adalah sosok mulia yang bertugas menyelamatkan orang lain. Selepas menyelesaikan pendidikan kedokteran di Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar, Yohanis ditempatkan di Kepulauan Aru sebagai dokter PTT.
Berkat kinerjanya, terutama lantaran tidak ada dokter yang sanggup tinggal di daerah terpencil, dia diangkat menjadi salah satu kepala puskesmas di kabupaten tersebut. Jabatan itu dipegang setelah satu tahun dia mengabdi sebagai dokter setempat. Enam tahun jabatan itu diembannya, kemudian diangkat menjadi direktur RS Saparua hingga 10 tahun. Sekitar tiga tahun lalu, pemerintah setempat menunjuk dia sebagai Kepala Dinas Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial Kepulauan Aru.
''Meski masih menjabat sebagai kepala dinas, tapi sehari-hari saya masih merawat sejumlah pasien. Ini yang membuat saya terkadang lelah, kecapaian. Sekarang saja, dua hari saya menderita demam setelah terkena malaria,'' katanya. Berkat dedikasinya pula, dokter Yohanis sudah menerima enam penghargaan dari Pemerintah Indonesia. Terakhir, dia menerima penghargaan Wirakarya Kencana di Bogor pada 1996 setelah berhasil melakukan tubektomi kepada 36 orang dalam waktu cepat --sejak pukul 10.00 pagi hingga pukul 03.00 dini hari.
Senyum sang dokter kembali terlihat. Kali ini, matanya turut berbinar. Dia mengungkap harapan agar makin banyak dokter PTT yang mengikuti jejaknya. ''Supaya warga miskin yang sakit tidak meninggal sia-sia karena terlambat ditangani.'' zaky al hamzah

0 comments: