Wednesday, May 16, 2007

Pemerintah Harus Jadi Penengah

Rabu, 16 Mei 2007

Alasannya, dalam sengketa lahan 44 hektare itu belum ada yang bisa dinyatakan mutlak salah atau sebaliknya.

JAKARTA -- Kalangan ahli hukum pertanahan menyarankan agar sengketa tanah Meruya Selatan diselesaikan dengan menguntungkan semua pihak. Alasannya, dalam sengketa lahan 44 hektare itu belum ada yang bisa dinyatakan mutlak salah atau sebaliknya.

Profesor Endriatmo Sutarto, ahli hukum agraria dari Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional Yogyakarta, mengatakan pemerintah harus menjadi penengah. Langkah awal, pemerintah harus meneliti ulang kebenaran status kepemilikan tanah.
Jika ada bukti kepemilikan yang tumpang-tindih, masalah berarti ada di lembaga yang mengurusi penerbitan dokumen tanah, yakni Badan Pertanahan Nasional. "Sistemnya bermasalah. Itu harus diperiksa," katanya.
Dalam situasi begitu, pemerintah harus melihat kemaslahatan bagi kepentingan umum. Warga Meruya harus dilindungi. Tapi Porta Nigra pun tak harus menanggung semua kerugian akibat kesalahan sistem. "Pemerintah harus mencari solusi terbaik," ujarnya.
Pengajar hukum agraria Universitas Indonesia, Suparjo Sujadi, mengatakan, untuk sementara, semua pihak harus menghormati keputusan Mahkamah Agung, yang menyatakan Porta Nigra sebagai pemilik lahan sengketa.
Namun, menurut Suparjo, Porta Nigra tak serta-merta bisa mengusir ribuan warga. Sebab, dalam hukum agraria berlaku asas pemisahan horizontal. Kalaupun Mahkamah Agung memenangkan Porta Nigra, perusahaan itu hanya berhak atas tanah. Porta Nigra tak berhak atas bangunan yang dibangun dan pohon yang ditanam oleh warga. "Itu harus dipatuhi," katanya.
Secara hukum agraria, menurut Suparjo, baik Porta Nigra, Badan Pertanahan Nasional, maupun warga sama-sama dalam posisi salah. Kesalahan Porta Nigra, setelah membebaskan lahan, tak segera mengajukan permohonan hak atas tanah kepada negara. Tanah adat dengan bukti girik, menurut dia, harus dikonversi ke tanah milik dengan bukti sertifikat.
Badan Pertanahan, kata Suparjo, juga keliru karena mengeluarkan ribuan sertifikat atas tanah sengketa di kawasan Kembangan, Jakarta Barat, itu.
Adapun warga, menurut dia, keliru karena kurang berhati-hati saat membeli tanah. Kalaupun kini warga memiliki sertifikat, kekuatannya tidak mutlak. Jika ada bukti penerbitannya cacat hukum, sertifikat bisa digugat. "Itu sesuai sistem publikasi negatif," kata Suparjo.
ZAKY ALMUBAROK ENDANG PURWANTI


1 comments:

Andi Sufiarma said...

buat BPN....perbaiki administasi pertanahan....karena nyawa dari pelayanan pertanahan adalah pada administrasi.....pegawai pertanahan bisa datang dan pergi tapi semua dokumen dalam sistem administrasi tetap terpelihara...gak akan ada istilah..wah...waktu tanah itu diproses saya belum bertugas di sini....