Wednesday, May 16, 2007

Perjuangan Hidup: Rezeki dari Rumput Kala Laut Sedang Surut

Kompas - 16052007

Matahari yang bersinar tepat di atas kepala tak menyurutkan langkah Warinem (65) dan kawan-kawannya menuju Pantai Kukup, Kabupaten Gunung Kidul, Provinsi DI Yogyakarta. Setelah berjalan selama dua jam dari desanya, ia tiba di pantai untuk berburu rumput laut.
Kala laut tak lagi pasang naik, Warinem mengeluarkan sabit kecil dari keranjang kayu. Ia lalu mencongkel-congkel rumput kemerahan dari antara karang-karang pantai.
Selasa (15/5) siang, air laut masih cukup tinggi sehingga lahan garapan sangat terbatas. Hanya belasan perempuan yang mencari rumput laut. "Biasanya lebih banyak. Pantai bisa penuh," kata Warinem.


Tidak banyak yang didapat perempuan yang tinggal di Dusun Nekung, Desa Kanigoro, Kecamatan Saptosari, Gunung Kidul, itu dari pekerjaan sepanjang siang hingga sore hari itu. Rata-rata hanya dua kilogram, yang kalau dijual hanya Rp 6.000.
Padahal, Warinem dan banyak perempuan lain harus berjalan kaki jauh untuk mencapai pantai. Selama bekerja, mereka juga harus membiarkan punggungnya terbakar terik matahari dari pukul 11.00 hingga sore.
Tangannya yang keriput sesekali harus beradu dengan kerasnya karang atau tersengat bulu babi. Meski demikian, senyum ceria terus menghias di wajah perempuan yang mengaku tak tahu persis berapa usianya itu.
Rumput laut yang telah terkumpul lalu mereka tebar di pinggir pantai atau dibawa pulang untuk dijemur. Jika dalam keadaan basah, harganya hanya Rp 1.500 per kg. "Butuh satu hari pengeringan supaya dapat duit lebih banyak," kata Warinem sambil tertawa.
Para pengepul dari Jakarta dan Semarang, secara teratur datang untuk membeli rumput laut. Selanjutnya, Warinem dan kawan-kawan tak tahu lagi bagaimana rumput laut mereka itu menjadi bahan baku untuk plastik hingga kosmetik.
Turun temurun
Bagi Warinem dan rekan-rekannya, mencari rumput laut adalah pekerjaan turun-temurun. Warinem sendiri mengaku sudah mencari laut sejak usia sangat muda. Anaknya juga menjalani profesi seperti itu.
Fitri (40), juga telah mengajak anaknya, Endang yang baru 11 tahun. Bagi Endang, pekerjaan itu juga menyenangkan. Sembari mencari rumput laut, sesekali dia bermain mencari bintang laut atau sekadar mengamati ikan-ikan yang berenang di ceruk karang.
Perjalanan panjang untuk sampai pantai dan kembali ke rumah, serta sengatan matahari tak dihiraukannya. "Jalannya ramai-ramai, jadi senang dan tidak capek," kata Endang.
Apakah tidak merasa bersalah memekerjakan anak di bawah umur? Fitri tampaknya tak berpikir sejauh itu. "Sejak kecil saya sudah belajar mencari rumput laut, tak ada salahnya anak saya juga belajar," kata Fitri polos. Ia senang karena dengan bantuan Endang bisa mendapatkan lebih banyak rumput laut.
Himpitan kemiskinan
Beban hidup yang berat kerap membuat banyak warga miskin tak lagi memerhatikan masa depan anak-anaknya. Mereka memang harus bekerja untuk bertahan hidup. Ketika laut bisa memberikan berkah, di sanalah mereka menyerahkan hidupnya.
Dengan pendidikan yang rendah, umumnya hanya SD, mereka memang tidak mempunyai banyak pilihan. Karena itu, mereka juga tak tahu kemana harus mencari pekerjaan lain yang bisa memberi penghasilan lebih baik.
Dalam skala lebih luas, jutaan orang di negeri ini, hidup dalam kesusahan seperti para pencari rumput laut di Pantai Kukup itu.
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, 17,76 persen (39,05 juta jiwa) penduduk Indonesia masih hidup dalam garis kemiskinan. Mereka adalah kelompok dengan penghasilan di bawah 1,55 dollar AS atau Rp 13.950 per hari, seperti halnya Warinem dan kawan-kawan.
Sedikit lebih baik dari mereka, di negeri ini masih ada tujuh persen penduduk yang hidup dengan pengeluaran kurang dari Rp 9.000 per hari ( 1 dollar AS). Penelitian Bank Dunia menunjukkan sekitar 109 juta penduduk Indonesia hidup dengan pengeluaran kurang dari dua dollar AS atau kurang dari Rp 20.000.
Satu hal yang harus disyukuri, kelompok miskin seperti halnya pencari rumput laut di Pantai Kukup itu tidaklah cengeng. Tidak banyak menuntut.
Meski harus menjalani beban pekerjaan yang berat ibarat merumput di pantai, tiap perempuan perkasa tersebut tampak selalu bersuka cita. Kala raga mereka melunglai, suara debur ombak sudah cukup menjadi pelipur lara.
Apalagi, kegiatan mencari nafkah mereka itu juga sering menarik wisatawan. Foto bersama para turis lokal atau kadang-kadang mancanegara itu sudah merupakan hiburan tersendiri.
Ya, para perempuan desa yang lugu itu memang menarik. Meski seharian kerja keras dengan hasil tak seberapa, mereka selalu tersenyum gembira. Canda tawa tak pernah lepas dari mulut mereka. Juga ungkapan syukur bahwa pantai masih memberi mereka berkah meski tak seberapa. (AB9)

0 comments: