Saturday, June 02, 2007

Kehidupan: Ketika Tukang Foto Keliling Tersisih

KOMPAS - Sabtu, 02 Juni 2007

Yenti Aprianti

Sebuah kamera film menggantung di dada Toyib (65). Kamera itu sudah tua. Beberapa bagian sudah berkarat. Namun, Toyib sangat sayang pada kameranya. Di bawah terik matahari, seperti seorang bayi, Toyib menyelimuti kameranya dengan selembar sapu tangan motif kotak-kotak.
Janggut putih Toyib yang lebat tertiup angin lembut, saat ia bergegas menghampiri para pekerja pabrik yang tengah menikmati liburan di Alun-alun Kota Bandung, tempat lelaki tua itu menawarkan jasa. "Foto langsung jadi. Cuma Rp 20.000 selembar. Tinggal tunggu 15 menit," katanya, mencoba menarik simpati wisatawan lokal yang ingin bertemu teman sekampung.
Tawaran Toyib rupanya menarik para wisatawan. Mereka mencari latar belakang yang diinginkan, sebuah air mancur. Semua tersenyum sambil menatap kamera di genggaman Toyib.
Toyib pun segera pergi ke deretan toko di sekitar alun-alun, mendatangi temannya yang juga pemilik usaha cuci cetak foto. Toyib meminta agar film negatifnya segera dipotong karena pengguna jasanya tengah menunggu hasil cetakan. Dalam 15 menit, Toyib sudah datang dengan cetakan fotonya dan mendapatkan Rp 20.000.
"Kalau mau, mereka juga bisa dapat dengan harga lebih rendah, tapi harus menunggu satu atau dua hari untuk mengambil hasil cetaknya," kata Toyib. Dengan jeda waktu cukup lama, Toyib mencuci cetak foto sekaligus untuk beberapa pesanan sehingga harganya bisa lebih murah.
Lalu Toyib berjalan-jalan lagi mencari "mangsa". "Foto, neng? Digital atau pake film bisa," katanya. Saat diminta memperlihatkan kamera digitalnya, Toyib mengaku tak punya.
"Ya, saya sih camat alias calo matuh (terus-menerus)," ujar Toyib. Karena tak punya kamera digital, Toyib hanya mampu menjadi calo bagi rekan-rekan pemotret yang memiliki kamera digital. "Kalau ada yang mau memotret dengan kamera digital, saya panggilkan pemotret lain yang punya kamera digital," kata Toyib. Ongkos dipotret dengan kamera digital selembar Rp 10.000. Harganya lebih murah dari ongkos foto dengan kamera film. "Soalnya ongkos cuci filmnya saja sekarang sudah Rp 6.000. Belum mencetaknya. Sementara ongkos cetak dengan kamera digital cuma Rp 1.000," kata Toyib.
"Zaman sekarang, lumrah kalau orang punya kamera. Makin jarang yang mau dipotret. Teman saya yang punya kamera digital pun belum tentu dapat order dari pagi hingga sore. Jadi, ongkos nyalo pun sukarela saja, disesuaikan kondisi keuangan," ujar Toyib.
Toyib sudah bekerja sebagai pemotret keliling di Alun-alun Kota Bandung sejak tahun 1973. Ia mempelajari fotografi dari pamannya yang bekerja sebagai pemotret keliling. "Kalau dulu dari motret bisa dapat uang banyak karena foto masih jadi barang istimewa. Kini kamera harganya makin murah, orang sudah pada bisa motret sendiri," kata Toyib.
Seperti juga Toyib, Tata (43), juga pemotret yang masih bertahan dengan kamera filmnya. Lelaki bertubuh kurus tersebut mengaku tak mampu membeli kamera digital yang harga barang bekasnya saja masih mencapai ratusan ribu. Lembar ratusan ribu makin sulit dicari oleh orang berprofesi seperti dirinya. Siang itu, meski sudah nongkrong dari pukul 08.00 di Alun-alun Kota Bandung, ia belum dapat order.
Alun-alun Kota Bandung sudah berubah lebih modern. Pohon-pohon di atas atap ruang parkirnya tidak ditanam di atas sebidang tanah, tapi hanya pada setabung tanah dalam pipa-pipa besar. Begitu pun para pengunjungnya. Banyak di antara mereka mengabadikan diri dengan latar belakang kubah masjid yang besar, menara yang tinggi, atau air mancur yang indah.
Tata kerap merasa tersisih melihat para pengunjung alun-alun yang datang membawa kamera-kamera kecil. Sambil duduk-duduk mereka saling berfoto. Lalu tertawa melihat gambar diri mereka di monitor kamera.
Ketika di alun-alun sangat sepi order, Tata mendatangi berbagai gedung pertemuan dan perguruan tinggi. "Siapa tahu ada seminar atau diskusi. Biasanya orang-orang di acara tersebut masih senang membeli foto diri mereka," kata Tata yang menjual selembar foto Rp 10.000.
Kian sepinya order foto membuat Tata tak ingin mewariskan keterampilan memotret kepada anak-anaknya. Ia lebih senang anaknya bekerja jadi buruh.
Berbeda dengan Tata dan Toyib, Suritna (45) berusaha keras menyisihkan penghasilannya dari memotret yang berkisar Rp 20.000 hingga Rp 50.000 selama hampir setahun untuk membeli kamera digital bekas seharga Rp 600.000. "Pengunjung Alun-alun ternyata lebih senang difoto dengan kamera digital," kata Suritna yang menjadi pemotret di Alun-alun Kota Bandung sejak tahun 1975.
Dodo, seorang pengunjung yang menggunakan jasa pemotret keliling dengan kamera digital, senang karena hasilnya bisa dilihat. "Kalau tidak suka bisa minta hasilnya dihapus dan saya difoto lagi," kata Dodo.

0 comments: