Saturday, June 02, 2007

Peluru itu Masih Menggores Duka

REPUBLIKA - Sabtu, 02 Juni 2007

''Istri saya meninggal. Anak saya sengsara dan tersiksa menahan sakit. Apa salah mereka, kok ditembak?'' ujar Sutrisno (32 tahun) bertanya. Pertanyaan-pertanyaan berselimut sedih dan duka itu selalu diungkapkan Sutrisno pada wartawan di Rumah Sakit Syaiful Anwar (RSSA) Malang, setelah istrinya, Mistin, dan anaknya, Khoirul Anwar (3 tahun), menjadi korban penembakan anggota Marinir TNI AL di Desa Alastlogo, Kecamatan Lekok, Kab Pasuruan, Jatim, Rabu (30/5) lalu.
Sutrisno yang sehari-hari bekerja sebagai buruh tani ini selalu mengeluh dan mempertanyakan sikap anggota TNI AL yang membabi buta itu. Tindakan anggota Marinir TNI AL yang gelap mata itu tidak hanya menewaskan Mistin. Belasan orang lainnya juga menjadi sasaran peluru tajam mereka. Selain Mistin, ada tiga orang lainnya yang meninggal yakni Rahman (23 tahun), Sulton (45 tahun), dan Siti Khotijah (20 tahun). Rohman, Sulton, dan Siti Khotijah tertembak di bagian kepalanya. Sedangkan Mistin tertembak di bagian dadanya.
Dua korban lainnya mengalami luka serius. Mereka adalah Irwanto (25 tahun) dan Khoirul Anwar (3 tahun). Irwanto tertembak di bagian perut, sedangkan Khoirul Anwar tertembak di bagian dadanya. Mereka saat ini sedang menjalani perawatan secara intensif di RSSA Malang.
Awalnya, kondisi Khoirul Anwar seperti tidak merasakan apa-apa. Dia hanya terdiam, tidak mengeluh, kendati dadanya tertembus timah panas. Bahkan, sehari setelah peristiwa itu, kondisinya sempat mulai pulih. Namun, setelah dua hari dipindah dari Unit Gawat Darurat (UGD) RSSA Malang, balita yang sudah bisa berbicara ini mengeluh kesakitan. Dia sering menangis dan mengerang-ngerang menahan rasa sakit serta minta pulang.
Di sela-sela tangisnya yang tidak henti itu, dia selalu menyebut nama ibu dan bapaknya yang sedang menjaga di ruang 13, RSSA Malang. ''Bapak, ibu pulang. Pulang ... pulang! Irul sakit, tidak mau di sini,'' begitu keluhan yang diucapkannya sambil menangis.
Hati Sutrisno pun menjadi semakin pilu mendengar tangis anaknya. Alapagi, darah segar masih sering keluar dari bekas luka di dada anaknya. Selain itu, selang pernapasan yang disambungkan ke paru-paru Khoirul untuk membantu pernapasan juga membuat Sutrisno semakin miris melihatnya.
Hingga kemarin, peluru yang menembus dada anak yang tertembak saat digendong Mistin ini belum dikeluarkan. Tim medis RSSA Malang belum bisa mengambil tindakan operasi, karena kondisi Khoirul dinilai belum memungkinkan. Disinyalir, peluru yang menembus dada Mistin juga ikut bersarang di paru-paru kiri Khoirul.
Menurut Sutrisno, berdasarkan informasi yang diterima dari tim medis, paru-paru Khoirul mulai berlendir. Sehingga, dia merasakan sakit yang luar biasa. Perasaannya menjadi semakin berat karena pelurunya belum diambil. ''Jika anaknya sekarang sering menangis, ada kemungkinan serpihan proyektilnya menyebar ke organ vital lainnya,'' jelas salah seorang tim medis yang enggan disebutkan namanya.
Melihat anaknya yang kerap berteriak kesakitan dan istrinya yang meninggal membuat Sutrisno terlihat sangat emosional. ''Kami benar-benar tidak terima dengan perlakuan anggota Marinir TNI AL. Mereka harus ditindak tegas. Mereka benar-benr biadab. Tidak punya hati nurani,'' ujar dia dengan nada tinggi. Dia pun meminta agar pemerintah berani membela rakyat kecil yang miskin dan tidak punya apa-apa.
Kegeraman dan kepiluan Sutrisno semakin dalam karena sampai saat ini masih bingung mencari biaya perawatan anaknya. Dia mengaku selama dua hari anaknya menjalani perawatan sudah banyak uang yang dikeluarkan. Uang itu diperoleh dari pinjaman keluarga dan bantuan kerabatnya.
Sementara sampai saat ini, bantuan Pemkab Pasuruan yang berjanji akan menanggung semua biaya perawatan belum diterimanya. Padahal, selama dua hari menjalani perawatan, banyak obat yang harus dibeli karena di RSSA tidak tersedia. ''Kalau tidak ada bantuan pemerintah, dari mana kami bisa membiayai perawatan ini,'' jelasnya.
Sementara itu, Irwanto (25 tahun) yang juga menjadi korban penembakan bagian pinggul, kondisinya terus membaik. Dia sudah menjalani operasi pengambilan peluru yang bersarang di pinggulnya. Pelaksanaan operasi yang dilakukan pukul 24.00 hingga 01.30 WIB, Kamis (31/5) dini hari berlangsung lancar.
Makanya, kondisi Irwanto lebih baik ketimbang Khoirul Anwar. Meski begitu, dia tetap merasa kesakitan. Menurut dia, warga sempat emosi setelah melihat Siti Khotijah dan Mistin bersama Khoirul Anwar ditembak oleh anggota Marinir. Saat itu, secara spontan dia melakukan pembelaan dan sempat kejar-kejaran sama tentara. Lantas, dia kena tembak dan mengaku tidak tahu selanjutnya. ''Saya hanya merasakan sakit sekali saat ini,'' ungkap dia sambil memegang perutnya.
Dia berharap anggota TNI itu dihukum seberat-beratnya. Menurut dia, penderitaan rakyat tiada taranya. Apalagi, mereka hampir semuanya merupakan rakyat miskin. Karena itu, tidak berlebihan bila keluarga Irwanto juga bingung untuk menanggung biaya perawatan seperti yang dialami Sutrisno. Untuk membeli obat selama dirawat di RSSA Malang, keluarganya sudah mengeluarkan biaya lebih dari Rp 600 ribu.
Menurut Susanto, kakak kandung Irwan, untuk menebus seluruh obat, pihaknya mengandalkan pinjaman dari orang lain. ''Bantuan berupa sumbangan dari tetangga memang ada. Tapi, kami tidak banyak berharap pada mereka. Kami pun tidak tahu lagi dari mana akan dapat uang, jika tidak ada bantuan dari pemerintah. Sebab, orang tua kami (Tiyasun) hanya pedagang bakso keliling,'' ujar Susanto menjelaskan.
Karena itu, baik keluarga Irwanto maupun Sutrisno sangat berharap agar Pemkab Pasuruan memenuhi janjinya. Sehingga, korban dan keluarganya tidak kebingungan mencari utangan untuk menutup biaya pengobatan.
Mereka juga menuntut agar anggota Marinir itu dihukum seberat-beratnya. Sementara itu, Ketua Komnas HAM, Abdul Hakim Garuda Nusantara, usai meninjau lokasi bekas penembakan yang dilakukan anggota Marinir di rumah almarhumah Siti Khotijah mengatakan bahwa ke-13 anggota Marinir itu dapat dijatuhi hukuman mati. Menurut dia, penembakan terhadap warga sipil itu bisa digolongkan sebagai pelanggaran HAM berat. (aji )

0 comments: