Tuesday, July 03, 2007

Hidup dan Perbedaan Adalah Anugerah

REPUBLIKA - Selasa, 03 Juli 2007

Atas undangan Deplu, Wartawan Republika, Ikhwanul Kiram Mashuri, selama tiga hari (19-21 Juni 2006) menjadi anggota delegasi Interfaith Dialogue di Nanjing, Cina. Dialog tersebut berupaya mempertemukan pandangan dari berbagai agama dan kepercayaan. Delegasi Indonesia dipimpin Menag, M Maftuh Basyuni. Berikut bagian pertama dari tiga catatannya.
Secara sederhana, hidup ini bisa digambarkan sebagai 'festival' yang penuh warna dan harus disambut dengan gembira. Ungkapan ini dikemukakan Rektor UIN Jakarta, Komaruddin Hidayat, saat mengawali sambutannya sebagai panelis dalam diskusi kelompok bertema 'Interfaith Dialogue, Social Cohesion and Development' di Hotel Jinling, Nanjing, Cina, 20 Juni lalu. Diskusi tersebut diikuti sekitar 30 orang dari berbagai negara di Eropa dan Asia.
Menurut Komaruddin, pemahaman bahwa hidup dan perbedaan sebagai anugerah merupakan kata kunci bila kita ingin menciptakan pergaulan dunia yang penuh damai dan harmoni. Berbagai konflik dan ketegangan antarbangsa dan anggota masyarakat yang terjadi selama ini, lantaran manusia kurang menghargai adanya perbedaan. Padahal, tidak ada satu agama pun yang memerintahkan kepada umatnya untuk membunuh atau menyakiti orang lain.
Diskusi kelompok untuk membahas perdamaian dunia ini diselenggarakan setelah pembukaan dan sidang pleno The Third Asia-Europe Meeting (ASEM) Interfaith Dialogue yang diselenggarakan selama tiga hari (19-21 Juni 2007) di Hotel Jinling, Nanjing, Cina. Peserta sidang pleno ASEM ini sekitar 200 orang dari 39 negara di Asia dan Eropa. Mereka adalah pejabat pemerintah, tokoh LSM, dan pemuka agama/keyakinan.
Selain Cina, Indonesia termasuk negara yang menyertakan delegasi besar, yang beranggotakan 24 orang, dan dipimpin langsung oleh Menag, Muhammad Maftuh Basyuni. Para anggota delegasi dari Indonesia itu, antara lain, Din Syamsuddin (ketua umum PP Muhammadiyah), Komaruddin Hidayat, Sudrajat (duta besar RI untuk Cina), Eddi Hariyadhi (dirjen Amerop Deplu), Atho Mudzhar (kepala Badan Litbang Depag), Muhammad Nasihin Hasan (ketua Lapesdam NU), juga Liesje Vonny Emma Makisanti (Persekutuan Gereja-gereja Indonesia). Selain itu juga Dr Ignatius Wibowo Wibisono (Konferensi Wali Gereja Indonesia), Agus Sumanteri Mantik (Parisada Hindu Dharma Indonesia), Soedjito Kusumo Kartiko (ketua umum Wali Umat Budha Indonesia), Dr Chandra Setiawan (presidium Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia), dan Prof Dr Philip Widjaya (sekjen wali Umat Budha Indonesia).
Pertemuan di Nanjing kali ini merupakan pertemuan ketiga. Yang pertama dilangsungkan di Bali dengan tuan rumah (penyelenggara) Indonesia dan Inggris pada 2005. Yang kedua digelar Cyprus dan Malaysia di Larnaca pada 2006. Sedangkan pertemuan ketiga di Nanjing ini sebagai tuan rumah adalah Cina dan Italia. Pertemuan keempat akan diselenggarakan di Amsterdam dengan penyelenggara Belanda bersama Thailand.
Dalam ketiga penyelenggaraan ASEM Interfaith Dialogue itu, Indonesia selalu menjadi peserta aktif. Dalam pertemuan di Nanjing kali ini, misalnya, selain menjadi panelis (Komaruddin Hidayat), delegasi dari Indonesia (Din Syamsuddin) ditunjuk sebagai moderator dalam diskusi bertema 'Interfaith Dialogue and Peace'. Din juga menjadi perumus hasil pertemuan ini. Sedangkan Maftuh Basyuni menjadi pembicara utama pada sidang pembukaan.
Selain itu, anggota delegasi Indonesia juga ikut dalam empat diskusi kelompok bertema 'Interfaith Dialogue and Globalization, Interfaith Dialogue and Peace, Interfaith Dialogue, Social Cohesion, and Development, dan Interfaith Dialogue and the Promotion of Cultural and Educational Cooperation. Inti dari keempat diskusi kelompok ini adalah membahas bagaimana menciptakan kehidupan dunia yang lebih damai dan harmonis.
Meski semua peserta menyadari pentingnya kehidupan damai dan harmonis antarbangsa, kelompok, dan pemeluk agama yang berbeda, namun tidak mudah untuk mencari kerangka atau rumusannya. Ada beberapa pemuka agama yang menggunakan kesempatan pertemuan ini untuk mempromosikan agamanya sendiri. Dalam diskusi kelompok yang membahas Interfaith Dialogue and Globalization, misalnya, sang moderator Michael Weninger (dari European Commission) perlu mengingatkan pemuka agama Thao dari Cina yang menjelaskan ajaran agamanya yang penuh damai.
''Terima kasih Anda telah memberi siraman rohani tentang Thaoisme. Tapi, yang kita ingin bahas di sini adalah bagaimana ajaran semua agama yang memerintahkan kedamaian ini bisa diterapkan dalam kehidupan kita,'' ujar Weninger.
Ternyata memang tidak mudah membuat rumusan soal kehidupan yang damai dan harmonis. Ada faktor eksternal dan internal yang memengaruhinya. Faktor di luar agama, misalnya, soal kemiskinan, ketimpangan ekonomi, pendidikan yang rendah, pengaruh media massa, dan globalisasi yang membuat batas-batas negara semakin tipis. Sedangkan faktor internal agama yang sering jadi persoalan adalah sifat ajaran yang agresif. Masing-masing pemeluk agama, terutama para pemukanya, ingin memperbanyak jumlah pengikut agamanya.
Sampai di sini mungkin tidak masalah. Menjadi persoalan ketika orang yang didakwahi itu sudah memeluk agama lain. Sejumlah konflik dan gesekan di masyarakat sering terjadi karena masalah tersebut. Di sinilah kemudian diperlukan aturan-aturan dan tidak cukup hanya jaminan kebebasan beragama dan sikap toleran terhadap pemeluk agama lain.
Sekjen Diocese of Bilbao (Spanyol), Gaspar Martinez, menambahkan sangat diperlukan rasa empati atau kasih sayang terhadap pemeluk agama lain. Kebebasan beragama, toleransi, dan kasih sayang antarsesama barangkali juga belum cukup. Kasus kartun yang menghina Nabi Muhammad SAW yang diterbitkan media massa di Denmark dan penganugerahan Knighthood untuk novelis Inggris asal India, Salman Rushdie, oleh Ratu Inggris yang mengundang protes umat Islam adalah contoh betapa mereka tak berempati terhadap perasaan umat Islam.

0 comments: