Tuesday, July 03, 2007

Kadin tolak wajib CSR

BISNIS - Selasa, 03/07/2007

JAKARTA: Kadin Indonesia tidak setuju apabila ketentuan tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility/ CSR) dijadikan sebagai kewajiban bagi perusahaan, karena dapat mengganggu iklim usaha dan investasi di Indonesia. Menanggapi amendemen UU Perseroan Terbatas yang tengah dibahas DPR dan pemerintah akhir pekan lalu, Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Mohammad S. Hidayat menilai ketentuan tersebut dapat mengganggu iklim usaha di Indonesia."Saya dari dunia usaha keberatan secara prinsipil kalau CSR menjadi sesuatu yang wajib seperti membayar pajak. Itu sama saja dengan pajak tambahan," tuturnya kepada Bisnis seusai acara HUT ke-54 Bank Indonesia, di Jakarta, kemarin.Menurut Hidayat, CSR sebaiknya dijadikan kewajiban moral saja yang menjadi indikator sikap investor terhadap lingkungan di sekitarnya. Apabila memang perlu aturan mengenai CSR, sebaiknya aturan tersebut ditujukan bagi kelompok usaha berskala besar yang sensitif terhadap lingkungan."CSR [untuk perusahaan skala besar] seharusnya bersifat anjuran, tidak dibuat persentasenya. Itu akan menghambat keinginan berinvestasi. Selain itu, secara praktik internasional hal itu juga tidak lazim."Hidayat mengatakan bila CSR memang menjadi ketentuan, maka harus mempertimbangkan tidak akan ada pengeluaran ekstra dari perusahaan, begitu juga dari segi perizinan.DPR dan pemerintah, dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang Perseroan Terbatas akhir pekan lalu, setuju setiap PT wajib menyisihkan dana untuk kegiatan sosial dan lingkungan, yang besar dan tata caranya diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah (Bisnis, 2 Juli 2007).Dalam rancangan awal, dana untuk kegiatan CSR diambil dari laba bersih setelah pajak. Dana tersebut, dalam pembahasan, tidak dialokasikan dari laba bersih, tetapi merupakan pengeluaran yang bisa dibiayakan (tax deductable). Tinjau ulangPanitia Kerja RUU PT membuka kemungkinan meninjau ulang kesepakatan tim sinkronisasi pada Pasal 74 dengan membatasi kewajiban perseroan melakukan kegiatan sosial dan lingkungan.Wakil Ketua Panja RUU PT Choirul Saleh menyatakan pembatasan itu bisa ditempuh, misalnya, dengan menghilangkan aspek lingkungan dalam CSR dan porsi kewajiban yang lebih ringan bagi perseroan yang menderita kerugian. "Kami tetap berpandangan CSR perlu diwajibkan," ujar anggota DPR dari Fraksi PKB itu di Jakarta, kemarin.Choirul menegaskan UU PT tidak akan menyentuh sampai menetapkan persentase dana yang harus dikeluarkan PT, termasuk menunjuk atau memusatkan lembaga pengumpul seperti di era Orde Baru. Persentase dan pengelolaannya diserahkan ke perusahaan masing-masing.Selain berguna bagi masyarakat, menurut dia, CSR yang masuk dalam laporan keuangan perseroan juga akan menjadi ukuran kinerja perusahaan. Di luar itu, perusahaan juga akan meraih manfaat berupa citra yang baik.Menurut Senior Manager External Relations PT Newmont Indonesia Robert Humberson, kewajiban mengenai CSR berlebihan karena menambah beban pajak bagi perusahaan. "Kami sudah menyisihkan US$4 juta tiap tahun untuk program CSR sebagai tanggung jawab kami kepada daerah [Sumbawa dan Nusa Tenggara]," ujar Robert kepada Bisnis.Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia Sofjan Wanandi menambahkan tidak ada negara yang mewajibkan perusahaan melaksanakan CSR. "Kita akan ditertawakan orang," katanya.Selain memperburuk iklim investasi, lanjutnya, ketentuan tersebut akan mendongkrak biaya produksi. Dia bahkan mengingatkan perseroan sudah diwajibkan membayar pajak lingkungan sebagaimana diatur dalam RUU Retribusi dan Pajak Daerah.
(02/M. Sarwani) (bastanul. siregar@bisnis.co.id)
Oleh Bastanul Siregar
Bisnis Indonesia

0 comments: