KOMPAS - Selasa, 03 Juli 2007
Sebuah "radang lokal" yang mengakibatkan "demam nasional" tengah menggejala di sekitar kita saat ini. Radang lokal itu adalah pemilihan gubernur Provinsi DKI Jakarta 2007. Karena berbagai faktor sosial-ekonomi-politik yang melekat pada Jakarta sebagai ibu kota negara, radang lokal ini tak pelak lagi memancing demam nasional.
Di tempat-tempat lain, pemilihan kepala daerah (pilkada) hanya memfasilitasi radang lokal dengan konsekuensi lokal pula. Pilkada Jakarta adalah ajang kompetisi politik lokal dengan implikasi melampaui lokalitasnya. Bahkan, Pilkada Jakarta bisa dipahami sebagai hajat nasional yang diselenggarakan di arena lokal.
Saat ini Pilkada Jakarta mulai memasuki tahapan-tahapan krusial. Pada hari-hari ini kita tahu pasangan kandidat gubernur dan wakil gubernur yang diterima dan disahkan Komisi Pemilihan Umum Daerah. Mereka adalah Fauzi Bowo-Prijanto dan Adang Daradjatun-Dani Anwar. Beberapa bulan ke depan, dinamisasi politik Jakarta bakal tak terhindarkan. Proses pemanasan suhu politik yang tak punya preseden dalam sejarah provinsi ini akan terjadi.
Dinamika ini rawan radang. Di Jakarta, sumber peradangan tersebar di banyak tempat, dalam berbagai tahapan pertarungan. Sejauh ini saja, sejumlah sumber peradangan sudah muncul ke atas permukaan. Pencalonan gubernur dan wagub DKI Jakarta beberapa waktu terakhir dilanda kisruh soal politik uang, terutama di antara bakal calon dan bakal partai pengusungnya.
Tahapan pengajuan calon juga ditandai perdebatan panas tentang calon independen. Hari-hari ini ramai pula perdebatan tentang kredibilitas pendaftaran pemilih dan terjadinya pencederaan hak-hak calon pemilih.
Bagaimana kita memahami hiruk-pikuk Pilkada Jakarta dalam konteks politik nasional? Seberapa jauh sumber-sumber radang itu bisa dikelola secara layak?
Signifikansi nasional
Signifikansi Pilkada Jakarta yang melampaui batas lokalitasnya setidaknya terbentuk sejumlah faktor berikut.
Pertama, pemilihan gubernur dan wagub Jakarta adalah ajang kompetisi politik amat prestisius. Kepala daerah ibu kota negara memiliki posisi, fungsi, prestise, dan peranan amat strategis. Karena itu, mobilisasi sumber daya akan dilakukan secara besar-besaran oleh partai-partai maupun para politisi/ kandidat untuk memenangi pertarungan. Skala, intensitas, dan cakupan pertarungan politik pun membesar dan membuat Pilkada Jakarta menjadi pilkada terpenting secara nasional.
Kedua, Jakarta adalah pusat perputaran ekonomi, bisnis, dan keuangan Indonesia. Karena itu, yang berkepentingan terhadap Pilkada Jakarta bukan sekadar para pelaku politik formal, melainkan juga kalangan sektor privat yang memiliki skala bisnis- usaha-keuangan terbesar. Dalam kerangka ini, Pilkada Jakarta akan menjadi ajang pertaruhan dan pertarungan para pemilik kepentingan ekonomi-bisnis-keuangan berskala raksasa. Arti pentingnya pun melampaui sekat-sekat politik, menjangkau dimensi ekonomi-bisnis-keuangan secara nasional.
Ketiga, Jakarta adalah sebuah tempat pertemuan berbagai golongan, kelas, dan kelompok di Indonesia. Ia adalah miniatur Indonesia. Pilkada Jakarta pun akan menjadi replika pertarungan politik Indonesia. Karakteristik pemilihnya, misalnya, akan sedikit banyak mencerminkan pemilih Indonesia. Pilkada Jakarta pun bukan hanya menarik sebagai tema riset, tetapi juga penting secara politik.
Keempat, signifikansi waktunya. Pilkada Jakarta terjadi di ambang pintu Pemilu 2009. Mau tak mau, bobot pilkada diperbesar dengan terlibatnya pertimbangan pemenangan Pemilu 2009 oleh partai-partai dan para politisi. Secara simplistis bisa dibilang bahwa siapa pun yang memenangi Jakarta akan meraup keuntungan politik signifikan berkait dengan politik 2009 kelak.
Maka, Jakarta adalah barometer Indonesia terpenting. Ia pun menjadi arena ujian dan ajang pembuktian seberapa jauh kita mampu mengelola dinamika politik era baru selepas Orde Baru. Pilkada Jakarta pun mesti kita letakkan dalam konteks ini. Mengelolanya menjadi pertaruhan penting-genting.
Dalam kerangka itulah saya memahami sebuah cerita yang saya dengar di sebuah diskusi terbatas, hampir dua tahun lampau.
Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat suatu kali mengundang bercengkerama Gubernur DKI Jakarta. Sang Gubernur diajak bergabung menjadi petinggi partai, duduk dalam keanggotaan Dewan yang dipimpin Sang Ketua.
Secara halus, dengan sopan santun penuh, Gubernur menolak ajakan itu dengan dua alasan. Pertama, Pilkada Jakarta sudah dekat. Jika Gubernur berpartai secara terlalu tegas, bagaimana ia bisa mengendalikan Jakarta manakala sesuatu yang tak diharapkan terjadi.
Kedua, Sang Gubernur memasuki tahun-tahun terakhir dalam sepuluh tahun tugasnya memimpin Ibu Kota. Mau tak mau, ibarat pelari 10K, ia harus mulai berlari sprint untuk mencapai garis finis dan memenangi pertarungan. Terikat partai akan membuat Sang Gubernur terbebani langkahnya dan gagal mencapai finis dalam kecepatan dan ketepatan yang diharapkan banyak orang.
Moral cerita: Pilkada Jakarta adalah sebuah pertaruhan besar yang tak bisa dikelola secara main-main dan serampangan. Dalam konteks inilah seyogianya berbagai aspek pengelolaan Pilkada 2007 diletakkan, termasuk di dalamnya dalam perkara manajemen politik uang.
Sebuah studi tentang politik uang di 22 negara (Bryan and Baer, eds., Money in Politics: A Study of Party Financing Practices in 22 Countries, 2005) menunjukkan bahwa kesadaran tentang perlunya manajemen politik uang sedang tumbuh sangat pesat di mana-mana saat ini. Bentuk-bentuk pembatasan, pengaturan, pemberian sanksi dan pengharaman praktik politik uang diperkenalkan dan dipraktikkan.
Dibuatlah semacam ranking praktik politik uang dan tingkat kejahatannya. Yang terendah adalah praktik pembelian suara, dalam hubungan partai/politisi dengan pemilih atau partai dengan kandidat. Praktik politik uang menjadi makin serius dan jahat—berturut-turut—dalam bentuk penggunaan uang untuk intimidasi dan kekerasan, pemberian hadiah bagi dan penyuapan para pembentuk opini publik, dan akhirnya penggunaan sumber-sumber daya/fasilitas milik negara di tingkat pusat maupun daerah untuk keperluan politisi/partai/kampanye.
Tampaknya, dalam kaitan dengan ilustrasi ini saja, kita memang belum bersiap secara layak untuk mengelola Pilkada Jakarta 2007. Tapi, masih ada waktu untuk berbenah. Asal ada kemauan, tentu saja.
EEP SAEFULLOH FATAH Direktur Eksekutif Sekolah Demokrasi Indonesia
Tuesday, July 03, 2007
Radang Lokal, Demam Nasional
Posted by RaharjoSugengUtomo at 12:46 PM
Labels: HeadlineNews: Kompas
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment