BISNIS - Rabu, 20/06/2007
JAKARTA: Pemerintah tidak akan memberikan ruang kepada BPK untuk memeriksa dokumen wajib pajak, meski kebijakan itu menjadi salah satu alasan bagi lembaga negara tersebut untuk tidak menyatakan pendapat (disclamer) atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) 2006. Kebijakan itu, menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, untuk memberikan kepastian hukum kepada wajib pajak. "Dari sisi spiritnya, UU Perpajakan sebenarnya memberikan lebih banyak kepastian hukum kepada wajib pajak. Jika hak mereka dihormati, kami berharap wajib pajak merasa tenang untuk mendaftarkan diri membayar pajak secara proper," ujarnya seusai mengikuti rapat kabinet terbatas tentang penataan aset negara, di Kantor Presiden, Jakarta, kemarin.Menkeu mengaku tidak khawatir peniadaan hak BPK mengaudit pajak akan mendorong peluang negosiasi antara wajib pajak dan petugas pajak. Hal ini karena sudah diantisipasi melalui ancaman hukuman yang berat bagi WP ataupun petugas pajak.Dengan begitu, menurut dia, kombinasi kenyamanan bagi wajib pajak dan sanksi terhadap pelanggaran akan meningkatkan kepatuhan wajib pajak. Selain itu, distorsi atau penyelewengan yang dilakukan aparat pajak bisa ditekan. Kendati BPK tidak dapat langsung mengakses dokumen wajib pajak, kata Sri Mulyani, Depkeu tetap melakukan pengamatan dan pengawasan terhadap Ditjen Pajak. Anggota Komisi XI DPR Harry Azhar Aziz menyatakan akses BPK untuk memeriksa Ditjen Pajak sudah diatur dalam RUU KUP, yang kemarin sudah disetujui rapat paripurna DPR. Ketentuan itu diatur dalam Pasal 34 ayat 2a yang menyatakan BPK berhak memeriksa Ditjen Pajak. "Namun, BPK tidak dapat memeriksa wajib pajak. Supaya tidak terjadi tumpang tindih antara institusi lembaga negara dalam menegakkan governance perpajakan." Menkeu dan Harry menyatakan hal itu menanggapi ancaman Ketua BPK Anwar Nasution yang menyatakan lembaganya akan tetap memberikan opini disclaimer atas LKPP selama tidak diberi wewenang memeriksa penerimaan negara dari pajak dan memeriksa piutang pajak. "Jelas itu, bagaimana mungkin kita mengatakan [opini atas pajak] kalau tidak boleh memeriksa. Itu kesaksian palsu. Jadi, kalau tidak boleh [memeriksa wajib pajak] bagaimana mengatakan opini mengenai pajak? Bagaimana dengan APBN?" tegas Sri Mulyani seusai memberikan Laporan Hasil Pemeriksaan LKPP APBN 2006 pada sidang paripurna DPR kemarin.BPK meminta agar UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) yang meniadakan kewenangan BPK memeriksa pajak direvisi. "Tanpa ada kewenangan memeriksa, tidak mungkin BPK dapat menyatakan pendapat atas penerimaan negara dari pajak yang merupakan porsi terbesar dalam sisi penerimaan APBN." Seperti diberitakan sebelumnya, BPK untuk ketiga kalinya menyatakan disclaimer (tidak memberikan pendapat) atas LKPP, karena masih terdapat berbagai temuan dalam pengelolaan dan pertanggungjawaban APBN yang berulang kali tanpa perbaikan memadai dalam tiga tahun terakhir ini.Menurut Ketua BPK Anwar Nasution, ada beberapa masalah atau temuan yang belum berhasil dibereskan pemerintah. Pertama, sistem akuntansi yang masih sangat lemah, sehingga anggaran belum dapat direkonsiliasi. Sistem teknologi informasi yang digunakan pemerintah tidak terintegrasi dan tidak kompatibel antara yang satu dan yang lainnya. "Yang paling pokok, sistem akuntansi masih sangat lemah. Itu merupakan sumber penyakit. Kita lihat ada rektor atau dosen di berbagai universitas ditangkap, karena sistem yang tidak jelas tadi," katanya pada pers setelah rapat paripurna dengan DPR di Jakarta, kemarin.Anwar menjelaskan kualitas dan kuantitas sumber daya manusia masih terbatas di hampir semua kementrian negara/lembaga, termasuk di Departemen Keuangan selaku pemegang kuasa fiskal. SDM yang ada juga tidak menguasai dasar-dasar ilmu akuntansi ataupun standar serta sistem akuntansi pemerintahan."SDM juga masih perlu diperbaiki, misalnya akuntan. Kita memiliki akuntan di BPKP. Seyogianya itu yang dialihkan kepada departemen teknis atau daerah."Penataan rekeningPresiden Susilo Bambang Yudhoyono kemarin memberikan batas waktu hingga tiga bulan ke depan kepada kementerian dan lembaga negara untuk menginventarisasi aset negara dari sisi hukum ataupun pengelolaannya.Untuk itu, dalam waktu dekat Presiden akan mengeluarkan Inpres dan Keppres tentang Penataan Aset Negara Untuk Masa Kerja 2008 sampai 2009. "Kami diberi waktu dua sampai tiga bulan ke depan, sejak hari ini untuk menata kembali aset negara," ujar Mensesneg di Kantor Presiden, kemarin.Menurut hasil audit BPK, nilai kekayaan negara berkurang Rp58,83 triliun dari posisi (minus) Rp110,09 triliun per 2005 menjadi (minus) Rp168,92 triliun per 2006 seiring dengan menurunnya total aset senilai Rp46,83 triliun yang diikuti oleh kenaikan kewajiban Rp11,99 triliun pada periode yang sama (lihat tabel).Namun, BPK menyebut saldo aset tetap di neraca per 31 Desember 2006 senilai Rp343,92 triliun belum menggambarkan nilai yang sebenarnya. Hal ini karena pelaksanaan administrasi aset belum sepenuhnya berjalan baik. Menkeu menyatakan pemerintah menargetkan merampungkan inventarisasi dan revaluasi aset negara tahun depan. "Khusus untuk kekayaan negara, kita targetkan tahun depan tidak disclaimer lagi." Perkiraan sementara Depkeu atas nilai keseluruhan inventarisasi berikut revaluasi aset negara itu akan mencapai Rp5.000-an triliun. Bila itu terjadi, dapat dipastikan nilai total aset negara akan jauh lebih besar ketimbang total kewajibannya.
(02) (erna.girsang@bisnis.co.id/bastanul. seregar@ bisnis. co.id)
Oleh Erna S. U. Girsang & Bastanul Siregar
Bisnis Indonesia
Wednesday, June 20, 2007
BPK tetap dilarang audit WP
Posted by RaharjoSugengUtomo at 12:52 PM
Labels: All in Tax, HeadlineNews: Bisnis
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment