Wednesday, June 20, 2007

Menhub: Sulit Berantas Pungli

KOMPAS - Rabu, 20 Juni 2007

Praktik yang Sama Terjadi di Pelabuhan Tanjung Mas

Jakarta, Kompas - Pemerintah mengakui, tidak mudah memberantas pungutan liar atau pungli yang ada di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara. Alasan yang dikemukakan pemerintah, kondisi tata ruang pelabuhan semrawut dan sistem pemeriksaan dokumen ekspor maupun impor masih manual.
"Tim kami sedang bekerja menyelesaikan rencana induk tata ruang pelabuhan, termasuk sistem pemeriksaan dokumennya. Jika pelabuhan sudah tertata, sistem pemeriksaan dokumen dilakukan secara elektronik, otomatis pungli akan hilang," kata Menteri Perhubungan Jusman Syafii Djamal, yang juga Ketua Pelaksana Harian Tim Percepatan Kelancaran Arus Barang Ekspor-Impor, Senin (19/6) di Jakarta.
Menurut Jusman, sesuai target pemerintah, rencana induk tata ruang pelabuhan akan selesai pada Oktober mendatang. Timnya juga akan menyelesaikan roadmap penataan ruang dan kegiatan pelabuhan yang terbuka untuk ekspor dan impor pada bulan Desember mendatang.
"Masalah pungli dan biaya tinggi sudah termasuk dalam prioritas kerja tim ini. Beberapa waktu lalu biaya penanganan peti kemas di pelabuhan sudah berhasil diturunkan. Bahkan, beberapa komponen biaya, pembayarannya sudah diubah dari dollar AS ke rupiah," ujar Jusman.
Mengenai tata ruang pelabuhan, akan dipisahkan secara jelas antara dermaga dan lapangan peti kemas untuk ekspor dan impor.
Manajer Humas Jakarta International Container Terminal (JICT) Agus Barlianto mengungkapkan, persoalan pungli tidak akan bisa dihapus. Praktik itu tetap terjadi jika tidak ada komitmen yang tegas dari pengguna jasa dan otoritas pelabuhan.
"Para sopir truk itu sendiri yang kadang-kadang membuka peluang pungli. Karena alasan ingin cepat dilayani, mereka menyodorkan uang pelicin. Padahal, tanpa uang itu, mereka pasti dilayani. Sopir sendiri memberikan uang karena mereka sudah meminta uang operasional tambahan," ujarnya.
Menurut Agus, sesuai aturan perusahaan, karyawan yang memungut pungli akan dikenai sanksi. "Tentu saja kami akan mengawasi lebih ketat," ujarnya.
Selain itu, untuk menekan pungli, pihaknya sudah melakukan berbagai upaya, seperti pesan layanan singkat "SMS tracking". SMS tersebut mempermudah pengguna jasa pelabuhan melakukan pencarian status dan posisi peti kemas di lapangan JICT. Mereka juga bisa mengetahui jadwal kapal, melakukan pencarian dokumen, dan simulasi biaya yang harus dikeluarkan untuk melakukan transaksi impor secara tepat waktu.
"Kami juga sudah melakukan percepatan proses peti kemas ekspor sampai dengan pencetakan kartu masuk terminal (KMT) yang dilakukan di tempat konsolidasi peti kemas. Untuk saat ini baru dilaksanakan di Gede Bage, Bandung," kata Agus.
Selain pungli, pengguna jasa juga mengeluhkan persoalan sempitnya lahan parkir truk pengangkut peti kemas di JITC dan Terminal Peti Kemas Koja. Banyaknya persimpangan jalan di pintu masuk pelabuhan menimbulkan kemacetan yang luar biasa di dalam area hingga di luar pelabuhan sepanjang 5 kilometer pada Selasa, Rabu, Jumat, dan Sabtu. Kemacetan ini rutin terjadi pada sore hingga dini hari.
Di tempat terpisah, Kepala Subdirektorat Pelaksanaan Jalan dan Jembatan Metropolitan Departemen Pekerjaan Umum Danis H Sumadilaga menegaskan, pekerjaan perbaikan Jembatan Buntu, yang menghubungkan jalan akses ke Pelabuhan Tanjung Priok dengan Kawasan Berikat Nusantara (KBN), akan selesai dalam dua bulan mendatang.
"Perbaikan akan dikerjakan dengan cepat, bahkan mungkin akan selesai dalam 1,5 bulan mendatang," kata Danis.
Pungli di Tanjung Mas
Pungli juga terjadi di Pelabuhan Tanjung Mas, Semarang, Jawa Tengah. Pungli itu terjadi mulai di depan pintu gerbang pabrik. Seorang eksportir mebel, sebut saja Lina di Yogyakarta, mengatakan, sejak truk peti kemas parkir di depan pabrik, oknum polisi sudah datang ke pabrik untuk meminta uang minimal sekitar Rp 50.000 per truk per hari.
"Pungli di sepanjang perjalanan, pintu masuk pelabuhan hingga pengapalan. Oknum polisi, petugas pelabuhan berseragam maupun tidak," kata Lina.
Untuk pengurusan dokumen asal barang, biaya sebenarnya cuma Rp 1.000 per dokumen, tetapi petugas biasanya meminta Rp 10.000 per dokumen. Jika tidak diberikan tambahan, kelancaran pengurusan dokumen bisa-bisa tersendat dan kontainer tidak segera diangkut ke kapal.
Akhirnya, kata Lina, biaya pengiriman yang dititipkan melalui sopir truk harus ditambah minimal Rp 100.000. Hal itu terpaksa dilakukan supaya barang bisa sampai di tangan konsumen tepat pada waktunya.
Secara terpisah, Direktur Fasilitasi Ekspor Impor Direktorat Jenderal Perdagangan Luar Negeri Departemen Perdagangan Harmen Sembiring, mengatakan, dibutuhkan waktu yang cukup lama untuk bisa mengejar kondisi pelabuhan di Indonesia sama seperti di Malaysia dan Singapura. Masalahnya, akses masuk ke pelabuhan-pelabuhan besar di Indonesia tidak lancar karena kondisi sarana infrastruktur dan waktu operasional pelabuhan.
Asisten General Manager Pelayanan Logistik Pelabuhan Northport Malaysia Lim Seok Hua mengatakan, pengelolaan pelabuhan di Indonesia masih dilakukan oleh pemerintah yang sangat birokratis. Akibatnya, banyak aturan yang menghambat sehingga tidak memperhitungkan sisi komersial perdagangan.
"Perlu mengubah pola pengelolaan pelabuhan di Indonesia menjadi privatisasi. Pihak swasta yang mengelola bukan lagi pemerintah. Jika sudah diprivatisasi, pekerja akan lebih giat bekerja sehingga yang ditarget adalah peningkatan layanan, pengusaha senang, dan memberi keuntungan," kata Lim Seok Hua.
(RYO/THT/OSA/OTW)

0 comments: