Wednesday, June 20, 2007

Ekspedisi: "Mengejar" Pencari Kayu di Bengawan Solo

KOMPAS - Rabu, 20 Juni 2007

Ina Susilo dan Subhan SD

Bengawan Solo, yang melintas tepian hutan jati Randublatung, Kabupaten Blora, menjadi jalur bagi upaya pencurian kayu. Tim Ekspedisi Bengawan Solo Kompas 2007 , Jumat (15/6), bahkan sempat memergoki aksi mereka.
Ranu (30) buru-buru memutar haluan perahu jukungnya yang tengah melaju di Bengawan Solo. Dalam sekejap haluan yang sebelumnya mengarah ke hulu, berputar ke arah hilir.
Begitu dua temannya, Suradi (40) dan Sahid (45), melompat ke atas, Ranu memacu perahu bermesin tempel itu sekencang-kencangnya. Potongan kayu yang mereka gergaji di tepian sungai pun ditinggalkan begitu saja.
Menggunakan teropong, dari kejauhan Tim Ekspedisi Bengawan Solo Kompas 2007 mengamati perahu jukung berukuran 7 meter x 0,9 meter itu terus melaju.
Perahu karet milik Pangkalan Marinir Surabaya berkemampuan 40 PK yang digunakan Tim Ekspedisi sejak 5 Juni lalu pun terus dipacu. Hanya beberapa menit, perahu itu terkejar.
Di tepian Bengawan Solo, yang membelah Pegunungan Kapur Kendeng, itu ketiganya turun, lalu berjongkok berjajar. Wajah mereka pucat diliputi ketakutan.
"Tidak tahu Pak. Saya baru datang. Saya cuma mengambil batang-batang pohon yang tersisa di sungai," kata Sahid ketika Tim Ekspedisi bertanya siapa yang memotong kayu besar tadi.
Setelah didekati lebih jauh, barulah mereka mengaku bahwa pohon besar yang tersisa setinggi 1 meter itu adalah hasil tebangan mereka. Setelah ditebang, pohon itu mereka gergaji menjadi balok atau papan.
Semula, ketiga lelaki ini mengaku hanya mengambil kayu sisa dari pohon yang telah tumbang di Bengawan Solo. Kayu ini dikumpulkan dan dijual kepada para perajin di Pasar Krawu atau Menden, Blora.
Biasanya, mereka menampung dulu kayu yang didapat. Setelah terkumpul satu colt diesel, mereka baru menjual. Harganya Rp 300.000-Rp 450.000 per colt.
Dikira aparat Perhutani
Dalam perbincangan lebih lanjut, Suradi dan dua tetangganya itu akhirnya mengakui ketakutan saat melihat perahu karet yang ditumpangi Tim Ekspedisi datang dari kejauhan. Sebab, perahu karet tim itu mirip perahu yang biasa digunakan aparat Perum Perhutani saat berpatroli.
"Sinten sing mboten wedi lek diuber-uber karo aparat (Siapa yang tidak takut kalau dikejar-kejar aparat)," ujarnya sambil tersenyum malu.
Setahun lalu, mereka memang pernah dua kali ditangkap aparat Perhutani. Meski tidak sampai diproses lebih lanjut, mereka mengaku terpaksa membayar Rp 100.000 untuk bisa dibebaskan. Menurut Suradi, "uang damai" yang diminta aparat berkisar Rp 100.000-Rp 300.000, tergantung jumlah kayu yang sedang diangkut.
Mencari kayu adalah pekerjaan sampingan bagi Sahid, Suradi, Ranu, dan banyak warga sekitar hutan jati Randublatung di perbatasan Jateng-Jatim. Pekerjaan pokok mereka tetaplah petani. Sesekali mereka juga mencari ikan di Bengawan Solo.
Seperti desa-desa lain di tepian Bengawan Solo di Bojonegoro, sawah dan permukiman mereka kerap diterjang banjir di musim hujan. Bertani juga sering tidak membuahkan hasil memuaskan. Maka, mencari kayu lalu menjadi andalan.
Hanya saja, mereka tidak sadar atau tak mau peduli bahwa penebangan pohon-pohon di sekitar aliran Bengawan Solo justru memperparah ancaman bahaya bagi hunian mereka.
Pencurian kayu, menurut petugas Kesatuan Pemangku Hutan Perum Perhutani yang ditemui Tim Ekspedisi, memang masih terjadi kendati jumlahnya menurun dari tahun ke tahun. Di wilayah Kuasa Pemangkuan Hutan (KPH) Randublatung, misalnya, 4.716 pohon jati dicuri pada 2006, sedangkan sampai April 2007 sudah 512 pohon yang hilang.
Hal serupa terjadi di KPH Cepu yang luasnya 33.047,3 hektar (ha). Pada tahun 2006, 1.312 pohon jati dicuri, sedangkan sampai 2007 telah hilang 320 batang.
Di KPH Padangan, Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur, 10.901 pohon jati senilai Rp 3,661 miliar dicuri pada 2005. Jumlah itu menurun pada 2006 menjadi 5.138 pohon senilai Rp 1,691 miliar, dan sampai Mei 2007 tercatat 329 pohon dicuri dengan kerugian Rp 301 juta.
Para pencuri kayu jati itu biasanya beraksi secara berkelompok, sampai 40 orang. "Mereka juga bersenjata tajam," kata Bagio, salah satu petugas lapangan di hutan jati Bojonegoro.
Itu sebabnya menangkap pencuri kayu juga tak mudah. Bisa berbahaya kalau hanya sendirian.
Pemahaman warga untuk menjaga hutan perlu ditumbuhkan. Tanpa itu, kerusakan lingkungan akan makin parah. Bukan hanya soal kerugian negara yang memprihatinkan, ancaman terjadinya banjir dan longsor pun makin besar....

0 comments: