Thursday, June 07, 2007

Semangat HidupPerjalanan Menuju "Happy Ending"

KOMPAS - Kamis, 07 Juni 2007

Agnes Aristiarini

"Jari-jariii…." Sapaannya yang khas sudah lama menghilang dari layar kaca. Lewat acara inilah Pepeng Ferrasta Soebardi menjungkirbalikkan "pakem" tampil di televisi yang formal menjadi penuh canda.
Pertanyaan yang diajukannya gampang-gampang susah, dengan hadiah uang lumayan besar.
Di satu episode ia bergaya ala Mr Flintstone. Kali lain ia berpakaian Bali. Pertanyaan yang diajukannya sering kali unik, seperti "Apa nama masjid di Keraton Kesultanan Pontianak?"
Kelucuannya tak hilang meski harus terbaring sakit. Tujuh bulan terakhir Pepeng berada di tempat tidur karena multiple sclerosis—penyakit yang menyerang saraf pusat—sejak Maret 2005. Permintaan maaf karena janji untuk bertemu terpaksa mundur gara-gara macet dan hujan lebat, dijawabnya via SMS, "Gak papa, saya tunggu. Saya lagi males ke mana-mana kok he-he."
Ruang geraknya berubah total. Pepeng yang biasa aktif dan dalam sebulan bisa hanya seminggu di rumah, menjadi statis. Pada awal sakit, ia masih menyelesaikan S2 Psikologi di Universitas Indonesia dengan predikat sangat memuaskan. Meskipun ia sudah di kursi roda.
Lingkupnya makin sempit di seputar rumah dan rumah sakit, sampai kemudian mengerjakan segala sesuatu di kamar berukuran 3 meter x 5 meter. Separuh dindingnya dilapisi anyaman bambu dengan deretan buku. Ada buku rohani, psikologi, juga tentang multiple sclerosis. Separuh dinding bagian atas ditempeli surat, kartu ucapan, undangan, dan nomor telepon sinse.
Membangun semangat
Siang itu, Pepeng menonton program HBO di televisi yang dipasang di ujung ruangan. Di bawah televisi ada kasur berseprai putih. "Saya tidur di situ. Sekarang waktu saya sejam sehari, 23 jam untuk dia. Waktu masih ada suster saya punya dua jam," seloroh Utami Sutoto, istrinya.
Dari kamar pria kelahiran Sumenep, 23 September 1954, itu terdengar suara mesin jahit tak putus-putus. Di situlah Utami menghabiskan sisa waktunya. "Kata anak-anak, kalau sudah di ruang kerja mata saya berbinar-binar," ujar Utami yang suka merancang dan memproduksi mukena serta pakaian Muslim ini.
Pepeng tak mau suasana senyap. Dari balik dinding kamar, ia menikmati suara istrinya mengatur keseharian rumah tangga atau anak-anak yang berbicara lepas dengan teman-teman mereka. "Saya tak mau diperlakukan seperti orang sakit," kata pemain film Rojali dan Juleha (1979), Sama-sama Enak (1986), dan Anunya Kamu (1986) ini.
Fisik boleh terkurung, aktivitas jalan terus. Teleponnya pun bolak-balik berdering. "Saya masih punya kesibukan. Anak-anak membantu menyelenggarakan seminar. Saya juga memberi pelatihan smart marriage dan parenting. Bedanya, dulu saya mendatangi keramaian, sekarang mendatangkan keramaian ke rumah," ujar ayah empat anak yang memandu telekuis Jari-jari (1992-2001) dan talkshow Warna-Warni (1998-2002) di televisi itu.
Ia pun mendaftar teman-temannya. Ada kelompok pencinta alam dan kesenian dari Universitas Trisakti dan Universitas Indonesia, alumni antropologi, hingga teman-teman baru dari internet. "Saya bilang, dosa lu gak liat gue, dateng deh semua."
Pepeng jatuh bangun untuk sampai tahap ini. Airmatanya meleleh malam-malam, takut anak-anak tak bisa menyelesaikan sekolah. Mamas (21), si sulung, kuliah di Limkokwing, Malaysia; Mio (20) di Universitas Padjadjaran, Bandung; Lalo (16) masih SMA; sedangkan Izra (14) masih kelas II SMP.
SMS dari Mamas dan Mio yang menanyakan kapan mengirim uang bisa membuat "antena" rusak. Treeng, nguiing, juedeer... begitu istilah Pepeng. "Saya down, terpaksa ditata lagi. Memisahkan apa yang saya mau dan tak mau. Memikirkan apa yang membuat saya gembira dan eksis. Kalau anak-anak bisa kuliah sampai empat semester, pasti ada kemurahan Tuhan."
Ia menyimpulkan, untuk maju orang harus fokus pada cita-cita dan membuang masalah. Dengan begitu, banyak hal bisa dikerjakan, sekaligus melupakan rasa sakit.
"Saya tidak sakit. Ini bukan sick, tetapi pain. Sekarang lagi sakit semua, tetapi ada kebahagiaan yang menjadi fokus karena saya bisa bicara dan bertemu banyak orang."
Perjuangan istri
Walau begitu, kebiasaan lama Pepeng kadang muncul. "Bedanya, dulu, kalau berantem saya harus menghadapi dia sampai selesai. Sekarang, begitu ada tanda-tanda bakal dipetuahi, tinggalin saja, he-he-he," papar Utami.
Sebaliknya, Utami juga tak berani dekat-dekat saat emosi Pepeng buruk. Bila sedang dimusuhi, ia telepon saudara-saudara Pepeng. "Datang dong, Pepeng lagi songong. Itu bahasa Betawi, artinya nyebelin."
Begitu ada mereka, ketawa-ketawa, lupalah Pepeng. Ia mengajak istrinya bicara dan perdamaian tercipta.
Belajar dari pengalaman, Pepeng tak mau memasang target tinggi. Ia ingin mencapai happy ending, yang bisa berarti kesembuhan atau kematian, tetapi ia juga tak ingin emosinya naik turun saat gagal.
Maka, ia membuat banyak perhentian untuk mendapatkan happy ending antara. Salah satunya, melihat anak-anak selesai sekolah. Kalau mau ditambah, melihat mereka menikah. Ada kesempatan lagi, ia ingin melihat cucu.
Kalaupun tak semua didapat, selalu ada pencapaian di perhentian. "Kecil-kecil, tetapi memberi kebahagiaan karena berhenti dalam keadaan berhasil."

0 comments: