REPUBLIKA - Kamis, 12 Juli 2007
Entah sampai kapan, 28 keluarga, warga Kedungbrubus, Kec Pilangkenceng, Kab Madiun, ini bisa kuat bertahan. Mereka tidak mau pindah dari dalam bendungan Kedungbrubus, yang saat ini hampir rampung pembangunanya.
Mereka seakan tidak gentar, meski rumah-rumah mereka akan tergenangi jika bendungan tersebut difungsikan. ''Kalau pemerintah tega menenggelamkan kami dalam bendungan ini ya silakan. Pokoknya warga yang masih berada di sini tidak mau pindah,'' ujar Jumadi, salah seorang warga.
Bersamaan dengan akan selesainya pembangunan bendungan tersebut, perwakilan 28 keluarga yang masih bertahan tidak mau pindah itu, sering mendatangi kantor Pemkab Madiun, untuk mengadukan nasibnya. Mereka tetap menuntut, agar direlokasi ke Notopuro, seperti janji Pemkab Madiun saat rencana pembangunan bendungan digulirkan pada 2002 lalu. Namun, Pemkab Madiun sendiri, juga tetap pada pendirian, lahan relokasi warga berada di Kedungkelis.
Kedungkelis dan Notopuro memang dua tempat yang jauh berbeda. Notopuro berada di dekat pintu masuk area bendungan. Daerah tersebut potensial untuk menjadi daerah ramai jika waduk tersebut dibuka untuk pariwisata. Dari keramaian itu, warga bisa lebih mudah merintis usaha. Sebaliknya, Kedungkelis berada di daerah pinggiran yang tidak banyak menjanjikan. Karena itulah, warga sementara ini memilih bertahan di lahan bendungan, daripada harus pindah ke Kedungkelis.
Pilihan untuk bertahan di area bendungan ini tentu bukan keputusan tanpa risiko. Pilihan ini membuat mereka kerap menghadapi masalah. Namun, 28 keluarga yang terdiri atas 135 jiwa itu seakan tidak memedulikannya. Padahal, untuk bisa sekolah di SD, anak-anak mereka setiap hari harus menempuh perjalanan sejauh 5 kilometer. Kondisi inipun membuat orang tua mereka setiap hari harus menyediakan waktu untuk mengantar sekolah.
Selain itu, mereka juga harus menghadapi kenyataan akses jalan menuju perumahannya juga terputus. Akibatnya, 28 keluarga itu menjadi seperti terasing dari penduduk lain yang ada di kampung tersebut. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, mereka terpaksa menempuh perjalanan melelahkan agar bisa menemukan warung yang menjual sambako.
''Biarlah kondisi seperti ini kami jalani. Kami ini hanya menagih janji pemerintah. Dulu kami ini mau pindah, karena dijanjikan tempat di Notopuro. Ternyata tempat itu di Kedungkelis. Berarti kami dibohongi,'' tutur Jumadi. Sambil bertahan di tengah bendungan, warga tetap menjalankan aktivitas seperti biasa. Sebagian besar dari mereka hidup sebagai petani. Untunglah, lahan pertanian mereka tidak berada di areal bendungan, sehingga mereka tetap memiliki mata pencaharian.
Ngototnya warga yang tetap menuntut relokasi di Notopuro tersebut karena ada beberapa faktor. Di antaranya, lokasi Notopuro memang memiliki prospek ekonomi, karena terletak di pintu masuk bendungan Kedungbrubus. Sementara lokasi Kedungkelis, berada di tepi hutan yang sepi. Di Notopuro, warga bisa membuka warung makan, toko souvenir, tempat parkir, dan sebagainya, jika kelak bendungan tersebut diaktifkan dan dijadikan objek pariwisata.
''Tentu saja warga setelah pindah, sangat berharap bisa mengubah nasib. Jangan sampai pindah di tempat baru yang kemudian kondisi ekonomi malah terpuruk,'' ujar Sumini, salah seorang warga yang lain. Menurut dia, tidak mudah memulai hidup dari awal jika tempat yang dihuninya tidak banyak menyediakan potensi berkembang. Jika dipaksa pindah ke lokasi yang tidak menjanjikan, dia khawatir pada akhirnya warga harus menanggung kerugian yang sangat besar.
Pemkab Madiun membantah, kalau sejak awal rencana pembangunan bendungan, telah menjanjikan relokasi warga ke Notopuro. Pemkab saat itu hanya mengusahakan untuk merelokasi warga ke Notopuro, karena di daerah tersebut terdapat lahan milik Perhutani. ''Karena lahan itu milik Perhutani, Pemkab tidak bisa menjamin relokasi di Notopuro. Pemkab hanya mengusahakan. Pemkab sendiri sudah berulangkali meminta lahan relokasi di Notopuro. Namun, terus ditolak oleh Perhutani,'' ujar Kasubdin Humas, Dinas Infokom Madiun, Mardii.
Dengan kenyataan seperti itu, Pemkab Madiun, menurut Mardii, sangat berharap agar warga yang belum mau pindah memahaminya dan segera menyusul warga lain yang sudah pindah ke Kedungkelis. Selanjutnya dia mengungkapkan, sebenanya pembangunan bendungan tersebut tidak ada masalah. Karena dari 155 keluarga di Kedungbrubus, yang belum mau pindah hanya 28 keluarga.
Penjelasan Mardii ini tidaklah cukup untuk menyelesaikan masalah. Karena itu, Ketua DPRD Kabupaten Madiun, Tomo Budiharsoyo, berjanji menjembatani warga dengan Pemkab Madiun. Dia berharap, dengan adanya 'jembatan' untuk berkomunikasi, persoalan di Bendungan Kedungbrubus segera menemukan jalan keluar.
Dia juga berharap agar Bupati Madiun, Djunaidi Mahendra, segera menuntaskan masalah itu. ''Bagaimanapun, 28 keluarga itu juga warga Kab Madiun. Jangan sampai mereka menjadi korban. Apalagi dalam waktu yang tidak lama, bendungan itu akan difungsikan,'' ujar Tomo.Menurut data di kantor Bappeda Kabupaten Madiun, pembangunan bendungan Kedungbrubus ini menghabiskan anggaran senilai Rp 62 miliar. Dana sebesar itu berasal dari APBN sebesar Rp 39,9 miliar dan APBD Kab Madiun sebesar Rp 22,6 miliar. Proses pembangunannya berlangsung multi years, mulai 2002 dan baru selesai pada akhir 2007.
Lahan untuk pembangunan bendungan tersebut mencapai 900 hektare. Fungsi bendungan ini lebih banyak untuk memasok air ke bendungan Notopuro. Selain itu juga untuk mengendalikan banjir Sungai Notopuro dan mengairi sekitar 500 hektare lahan pertanian secara langsung. Ke depan bangunan ini juga diproyeksikan menjadi objek wisata. Total biaya yang diperlukan untuk menjadikan bendungan tersebut sampai bisa menjadi tempat wisata diperkirakan mencapai Rp 100 miliar. juw
Thursday, July 12, 2007
Bertahan di Tengah Bendungan
Posted by RaharjoSugengUtomo at 9:30 AM
Labels: HeadlineNews: Republika
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment