Thursday, July 12, 2007

Koperasi harus back to basic

BISNIS - Kamis, 12/07/2007

Hari ini Indonesia memperingati Hari Koperasi ke-60. Sayangnya, di tengah hiruk-pikuk peringatan itu, kita berharap cemas bahwa koperasi akan terjebak oleh popnya ideologi pasar bebas, sekaligus oleh pragmatisme materialistik. Sebut saja, dalam Rancangan Undang-undang UMKM yang dibahas di DPR, peran koperasi dalam UMKM tidak jelas. Bila UMKM sebagai bagian dari ekonomi rakyat tidak dibangun dalam wadah koperasi, maka sistem koperasi tidak akan berkembang secara mendasar dan bottom-up. Naskah RUU Perkoperasian? perlu diwaspadai. Naskah RUU Perkoperasian mulai menggunakan istilah 'saham', padahal saham adalah istilah khas untuk badan-badan usaha kapitalistik, yaitu istilah perseroan terbatas (PT atau NV) yang berdasar "asas perorangan". Padahal, koperasi adalah badan usaha yang berdasar Pasal 33 UUD 1945, artinya berdasar paham "kebersamaan dan asas kekeluargaan (mutualism and brotherhood)" atau lebih populer berdasar ukhuwah.Koperasi sesuai dengan Pasal 33 UUD 1945 memiliki mekanisme khas dalam operasinya, tidak berdasar ekonomi mainstream yang memberhalakan pasar-bebas, yaitu memuja efisiensi ekonomi semata-mata, tetapi berdasar moralitas sosial, yaitu mencapai efisiensi sosial atau efisiensi yang berkeadilan. Sesuai dengan Pasal 33 UUD 1945, koperasi-baik badan usaha maupun sistem koperasi dan mekanisme kooperatif yang menyertainya-merupakan bagian integral dari perekonomian nasional. Beberapa hal mendasar dalam UU Koperasi No. 12/ 1967? adalah tentang perkataan "kesadaran berpribadi" (individualita menurut istilah Bapak Koperasi) dan "kesetiakawanan" (kolektivita menurut istilah Bapak Koperasi), yang merupakan landasan mental bagi para koperasiwan, yang satu memperkuat yang lain. Namun, landasan mental ini justru dicabut oleh UU Koperasi No. 25/1992. Maka rusaklah koperasi. Jadilah koperasi berwatak homo economicus mengabaikan moralitas sebagai homo socius yang wajib ber-ukhuwah. Inilah sebabnya koperasi yang bertitik-tolak pada "saling bekerjasama", menolak persaingan ala pasar-bebas, yaitu persaingan yang saling mematikan. Bagi koperasi, persaingan sebatas perlombaan, yang kalah berlomba tetap dipelihara dan diberdayakan. Doktrin koperasi adalah dengan bekerja sama efisiensi ekonomi dan efisiensi sosial meningkat. Selain itu, RUU Perkoperasian belum menempatkan peran perempuan dalam pembangunan UMKM dan koperasi. Dalam Kongres Perempuan Internasional pada 1995 di Beijing yang melahirkan Beijing Platform for Actions yang setiap tahun dimonitor PBB, peran perempuan dalam perekonomian sangat ditekankan. Di Indonesia, jumlah penduduk perempuan mencapai 50%. Bila perempuan tidak diberdayakan dan dimampukan sebagai aktor produktif dalam perekonomian, mereka tidak bisa menjadi aset, bahkan sebaliknya akan menjadi beban pembangunan. Oleh karena itu, pemberdayaan perempuan yang menjadikannya mampu memberdayakan diri (self-empowered) menjadi tuntutan nyata. Bila catatan yang ada menunjukkan bahwa koperasi-koperasi perempuan lebih berjaya dibandingkan dengan koperasi-koperasi laki-laki pada umumnya, memberikan petunjuk bahwa "paham kebersamaan" dapat lebih berkekuatan hidup di lingkungan perempuan. SokoguruKoperasi juga merupakan sokoguru perekonomian nasional, artinya kegiatan ekonomi rakyat di bawah mendukung perekonomian besar di atasnya (hubungan vertikal). Ini sering tidak dimengerti, maka sering dicemooh. Padahal adalah nyata bahwa koperasi cengkih dan koperasi tembakau adalah sokoguru industri rokok kretek. Koperasi kopra adalah sokoguru industri minyak goreng, dan seterusnya. Para pedagang sektor informal (termasuk PKL) telah menyediakan kehidupan murah bagi buruh-buruh miskin berupah kecil dari perusahaan-perusahaan besar kaya yang formal-modern. Dengan kata lain, sektor informal menjadi sokoguru dari perusahaan-perusahaan besar itu. Maka petani tembakau dan petani cengkih, serta para penjual rokok dan para pecandu rokok perlu diatur agar dapat memiliki "andil internal" (co-ownership) pabrik-pabrik rokok, para pelanggan patut ikut memiliki saham supermarket. Demikian pula pelanggan telepon harus dapat difasilitasi untuk diutamakan bisa memiliki saham PT Telkom, PT Indosat dan seterusnya. Adalah keliru dari dimensi mutualism and brotherhood bila Indosat, BNI 46, dan lain-lain badan usaha milik nasional dijual ke pihak luar sebelum ditawarkan lebih dahulu kepada nasabah (clienteles) yang memiliki hubungan common bonds (produksi, konsumsi, distribusi dan teritori). Di sinilah kita kemudian mewujudkan demokrasi ekonomi dalam "Triple-Co", yaitu bahwa di dalam badan-badan usaha terutama yang kapitalistik sifatnya, dapat lebih berwatak kebersamaan kooperatif dengan dilaksanakannya co-ownership (pemilikan bersama), co-determination (keputusan bersama) dan co-responsibility (tanggung jawab bersama). Tidak antibesarKoperasi tidak harus merupakan badan usaha kecil-kecilan. Koperasi-koperasi bisa bergabung menjadi usaha-usaha besar. Pasal 33 UUD 1945 sama sekali tidak antiusaha besar. Usaha besar tidak dipersoalkan selama dimiliki oleh banyak orang untuk mencegah konsentrasi pemilikan aset ekonomi. Dengan demikian, tidak relevan lagi mempertanyakan keberadaan koperasi dalam menghadapi globalisasi, yang memang memerlukan usaha-usaha besar yang efisien (tanpa mengabaikan bahwa yang kecil-kecil dan efisien pun bisa bertahan hidup dengan kukuhnya). Kemerdekaan Indonesia mengemban cita-cita Bapak Koperasi membentuk masyarakat merdeka yang demokratis melalui upaya melaksanakan "transformasi ekonomi" dan "transformasi sosial". Transformasi ekonomi yang dimaksudkan itu adalah suatu upaya restrukturisasi membentuk sistem ekonomi baru yang meninggalkan asas individualisme dan menggantinya dengan paham kebersamaan dan asas kekeluargaan sesuai semangat dan moralitas agama ber-ukhuwah berdasar demokrasi ekonomi.Sementara itu, transformasi sosial diperlukan untuk membentuk hubungan sosial-ekonomi yang partisipatori-emansipatori. Di zaman penjajahan berlaku sistem ekonomi subordinasi, artinya yang di atas mendominasi yang di bawah. Wujud nyatanya adalah hubungan ekonomi "tuan-hamba", "taoke-koelie", "juragan-buruh", semacam "economic slavery system", seperti zaman cultuurstelsel, di mana yang kuat dan berkuasa berkedudukan dominan dan yang lemah tanpa posisi-tawar kedudukannya tersubordinasi. Perkebunan Inti Rakyat (PIR) pada hakikatnya adalah Cultuurstelsel baru, wujud sistem ekonomi subordinasi.Sayangnya, kita belum melaksanakan transformasi ekonomi dan transformasi sosial seperti diamanatkan Pasal 33 UUD 1945 bahkan makin dekat dengan neoliberalisme. Suatu keprihatinan besar.Gerakan terpecahDisayangkan, perhatian ke arah pembahasan UU Koperasi tidak dapat diharapkan mendalam karena gerakan koperasi terpecah. Pengadilan telah memutuskan kemenangan ada di pihak Dekopin legal. Pengadilan telah memerintahkan agar SK 176/2005 Menegkop-UKM sebagai dasar Rapat Anggota Sewaktu-waktu, yang menjadi dasar berdirinya Dekopin illegal, harus dicabut dan dibatalkan. SK ini dengan bijaksana telah dicabut oleh Menegkop-UKM. Bahkan, kemenangan Dekopin legal dimantapkan oleh Mahkamah Agung pada 13 Juni 2007. Sayangnya, Dekopin illegal tidak membubarkan diri.

0 comments: