KOMPAS - Kamis, 12 Juli 2007
Kitorang so hidup susah, masih hadapi bencana lagi," ungkap Ferry Mou (37), warga Kampung Baru, Kecamatan Ibu, Halmahera Barat, Maluku Utara.
Kebahagiaan hati Ferry atas kelahiran putra pertamanya pada Senin (9/7) pagi itu sirna oleh bunyi gemuruh Gunung Gamkonora. Hanya selang beberapa jam setelah si buah hati lahir, Ferry harus tergopoh-gopoh belasan kilometer mencari tempat aman. Istrinya, Marlin (30), ikut mengungsi sembari menggendong bayinya dengan tertatih-tatih lemas.
Bagi keluarga Ferry, ini adalah pengungsian yang kedua kali. Tahun 2001 keluarga muda tersebut merupakan bagian dari ribuan warga Bacan, Bitung, dan Tobelo yang terpaksa mengungsi ke Kampung Baru karena konflik horizontal. Mereka berdatangan mendiami wilayah kaki gunung untuk mencari kehidupan baru sambil bercocok tanam palawija dan cengkeh.
Sekarang warga tidak bisa menikmati panenan hasil kebun. Tidak ada yang berani memetik cengkeh atau sayur-mayur di kebun yang berlokasi di kaki Gamkonora yang sudah berselimutkan debu panas.
Baru saja mulai merajut hidup baru di pengungsian, warga kembali ditimpa prahara. Dengan hati yang gulana, seluruh anggota keluarga bergegas memboyong harta benda yang bisa dibawa. Rumah dan hewan ternak ditinggal karena mustahil dipikul, dikepit, dan ditenteng.
"Kami sudah bosan hidup mengungsi dan mengungsi," kata Elsi Dehango (50), yang mengungsi sekitar 5 kilometer dari Kampung Baru.
Belitan kemiskinan sangat sulit lepas dari mereka. Mereka juga menganggap perhatian pemerintah sangat minim.
Menurut Elsi, kebijakan pemerintah menjual beras murah melalui raskin seharga Rp 1.000 per kilogram tidak pernah mereka nikmati.
"Jangankan dapat uang dari pemerintah, raskin saja tidak kami dapat," tuturnya.
Kondisi pengungsi memprihatinkan. Mereka membangun tenda-tenda darurat berbekal kayu yang ditutupi dedaunan. Setiap "tenda" berukuran 3 x 4 meter dihuni 15-20 orang.
Para pengungsi mengaku tak berdaya dengan kemiskinan dan bencana alam. Berkeluh kesah adalah kesia-siaan karena jarang pejabat provinsi dan kabupaten menjenguk, termasuk saat Gamkonora mengguncang hidup mereka. Bagi warga, Gamkonora selama ini cukup bersahabat sesuai arti namanya. Gam berarti "kampung", Konora bermakna "di tengah". Aura Gamkonora dianggap sebagai "penengah" pertikaian sosial yang dulu menerpa. (JEAN RIZAL LAYUCK)
Thursday, July 12, 2007
Sudah Miskin Tertimpa Bencana Pula
Posted by RaharjoSugengUtomo at 9:04 AM
Labels: HeadlineNews: Kompas
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment